“Takkan pernah.”
Aku merasa girang. Ini mulai menyenangkan. Aku mulai berpikir, apa yang akan kuceritakan? Ah, tidak. Kali ini, aku yang akan mendengarkannya.
“Kau saja yang bercerita. Apa saja.” Aku berdiri di depannya, berharap akan mendengar sesuatu yang menarik.
“Baiklah. Aku akan berbicara tentang seseorang. Kau.”
“Aku?” sepasang mataku membelalak, “kau sedang mengusiliku, kan?”
“Kalau ingin tahu, dengarkan saja. Jangan berisik.”
Hatiku berdebar-debar. Rasanya sama seperti saat aku mendapat kejutan segenggam permen aneka rasa. “Cepatlah, ceritakan,” desakku tak sabar.
“Kau gadis menarik. Sepasang matamu itu lentera. Sayang sekali, lentera itu telah lama padam.” Bayang-bayang berhenti sejenak, lalu berbisik penuh tekanan, “Kita akan menyalakan lentera itu jika kau mau.”
Aku tergelak. “Apa yang sedang kau bicarakan?”
“Ini serius. Mari, kita pergi dari sini. Ke dunia luar. Kau berani?”
“Hari ini kau benar-benar aneh,” aku masih tertawa, “ada apa denganmu?”