Mohon tunggu...
Fitri Manalu
Fitri Manalu Mohon Tunggu... Lainnya - Best Fiction (2016)

#catatankecil

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Bulan Kemanusiaan RTC] Permen Tangkai Berwarna Pelangi

27 Juli 2016   14:57 Diperbarui: 27 Juli 2016   23:07 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Aku nggak mau sama Ayah! Aku maunya sama Ibu...” Bocah perempuan meronta-ronta dalam dekapan lelaki perlente.

Perempuan itu menangis semakin keras. Bahunya berguncang keras. “Anakku... anakku...” Ia menebah dadanya berkali-kali. Wajahnya dibanjiri air mata. Ia telah gagal mempertahankan buah hatinya.

Pintu mobil dibanting. Suara mesin menderu, mengepulkan debu kemarau yang menyesakkan. Perempuan itu terduduk di tanah berbatu. Isakannya tak kunjung reda. Sesekali ia terbatuk. Sebuah amplop tebal berwarna cokelat berada di pangkuannya. Hari ini, takdir tak berpihak padanya.

***

“Berobatlah!” Lelaki itu melemparkan amplop tebal ke depan istrinya. “Aku tak mau punya istri penyakitan. Mala juga pasti malu punya ibu sepertimu. Jangan sampai anak itu tertular darimu!”

“Kau kasar, Mas!” isak perempuan itu menyayat, “kalau begini sikapmu, harusnya dulu kalau tak memungutku dari tempat itu.”

“Hahaha... kau mau menggugat masa lalu?” ejek lelaki itu. “Benar-benar tak tahu diuntung! Kalau bukan karena aku yang menolongmu, mana mungkin kau hidup layak di rumah mewah?”

Istri lelaki itu membisu. Benar kata suaminya. Lelaki itulah yang mengangkatnya dari kubangan saat ia masih seorang penjaja tubuh yang bertahan hidup dari nafsu lelaki. Lelaki itu menyukainya. Menebus dan membawanya pulang, lalu menikahinya. Putri mereka, Mala, lahir ke dunia setahun kemudian. Sering kali ia merasa cemas ketika terjaga di pagi hari, membayangkan segala keberuntungan tiba-tiba direnggut darinya. Benar saja, setahun terakhir penyakit mulai menggerogotinya. Mungkin karena kehidupannya di waktu lampau. Mungkin pula karena dosa-dosa yang tak terhitung jumlahnya itu.

“Kau bisu? Bicaramu tadi sungguh lantang!” suaminya menyeringai, “bila tak sembuh juga, kau harus angkat kaki dari rumah ini! Camkan itu!” Lelaki itu mengentakkan kaki lalu berbalik pergi.

Ruangan luas terasa lengang. Sang istri larut dalam kesedihannya. Langkah-langkah kecil terdengar menghampiri. Sepasang tangan mungil terulur membelai rambut perempuan itu.

“Bu... jangan nangis lagi, ya...”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun