Mohon tunggu...
Fitri Manalu
Fitri Manalu Mohon Tunggu... Lainnya - Best Fiction (2016)

#catatankecil

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Bulan Kemanusiaan RTC] Permen Tangkai Berwarna Pelangi

27 Juli 2016   14:57 Diperbarui: 27 Juli 2016   23:07 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Ilustrasi: www.flickr.com

Boneka itu teronggok di sudut ruangan. Sepasang tangan mungil meraba-raba dalam gulita. Mencari-cari hingga ujung jemarinya menyentuh boneka.

“Bonekaku...” Suara riang setengah berbisik.

Baru saja pemilik tangan mungil itu hendak menimang boneka, cahaya tiba-tiba menerangi ruangan itu. Sebuah suara mengejutkannya.

“Di sini kau rupanya...”

Nggak mau! Aku cuma mau main dengan bonekaku!” Boneka itu terempas ke lantai seiring isakan lirih.

Ssst... diamlah.” Sebuah tangan kokoh mengulurkan permen tangkai berwarna pelangi. “Jangan berisik, nanti kubelikan lagi permen yang banyak.”

***

“Berjanjilah pada ibu, kau takkan nakal.” Seorang perempuan dengan mata memerah mengusap pipi halus seorang bocah perempuan. Rambut sebahunya kusut masai. “Bila ada waktu, Ibu akan menjengukmu sesekali.”

“Tapi aku mau Ibu...” Bocah perempuan itu terisak. Ia tak habis pikir, mengapa ibu harus pergi? Selama ini ia tinggal bersama ayah dan ibu. Sebenarnya, ibu mau pergi ke mana?

Perempuan itu menyeka tetes-tetes yang mengaliri pelupuk matanya. “Percayalah, Nak. Ibu ingin sekali bersamamu. Tapi...”

“Sudah cukup! Kami harus pergi!” Seorang lelaki perlente membentak perempuan itu kemudian merenggut bocah perempuan dari ibunya. “Kita pergi sekarang!”

“Aku nggak mau sama Ayah! Aku maunya sama Ibu...” Bocah perempuan meronta-ronta dalam dekapan lelaki perlente.

Perempuan itu menangis semakin keras. Bahunya berguncang keras. “Anakku... anakku...” Ia menebah dadanya berkali-kali. Wajahnya dibanjiri air mata. Ia telah gagal mempertahankan buah hatinya.

Pintu mobil dibanting. Suara mesin menderu, mengepulkan debu kemarau yang menyesakkan. Perempuan itu terduduk di tanah berbatu. Isakannya tak kunjung reda. Sesekali ia terbatuk. Sebuah amplop tebal berwarna cokelat berada di pangkuannya. Hari ini, takdir tak berpihak padanya.

***

“Berobatlah!” Lelaki itu melemparkan amplop tebal ke depan istrinya. “Aku tak mau punya istri penyakitan. Mala juga pasti malu punya ibu sepertimu. Jangan sampai anak itu tertular darimu!”

“Kau kasar, Mas!” isak perempuan itu menyayat, “kalau begini sikapmu, harusnya dulu kalau tak memungutku dari tempat itu.”

“Hahaha... kau mau menggugat masa lalu?” ejek lelaki itu. “Benar-benar tak tahu diuntung! Kalau bukan karena aku yang menolongmu, mana mungkin kau hidup layak di rumah mewah?”

Istri lelaki itu membisu. Benar kata suaminya. Lelaki itulah yang mengangkatnya dari kubangan saat ia masih seorang penjaja tubuh yang bertahan hidup dari nafsu lelaki. Lelaki itu menyukainya. Menebus dan membawanya pulang, lalu menikahinya. Putri mereka, Mala, lahir ke dunia setahun kemudian. Sering kali ia merasa cemas ketika terjaga di pagi hari, membayangkan segala keberuntungan tiba-tiba direnggut darinya. Benar saja, setahun terakhir penyakit mulai menggerogotinya. Mungkin karena kehidupannya di waktu lampau. Mungkin pula karena dosa-dosa yang tak terhitung jumlahnya itu.

“Kau bisu? Bicaramu tadi sungguh lantang!” suaminya menyeringai, “bila tak sembuh juga, kau harus angkat kaki dari rumah ini! Camkan itu!” Lelaki itu mengentakkan kaki lalu berbalik pergi.

Ruangan luas terasa lengang. Sang istri larut dalam kesedihannya. Langkah-langkah kecil terdengar menghampiri. Sepasang tangan mungil terulur membelai rambut perempuan itu.

“Bu... jangan nangis lagi, ya...”

***

Bocah perempuan itu duduk menangis seharian. Tak ada yang mampu menyuruhnya berhenti hingga hari beranjak gelap. Sia-sia saja pengasuhnya berjuang keras membujuk dengan berbagai cara. Sejak ayah merenggutnya dari dekapan ibunya hari itu, keceriaannya sirna. Ayah jarang pulang. Jika pulang pun, ayah tak pernah bicara dengannya. Saat ia menyapa, ayah malah menghardiknya. Ia tak punya teman bicara di rumah luas itu. Orang-orang di rumah itu memperlakukannya seperti patung.

“Kenapa menangis, Sayang?”

Bocah perempuan itu menghentikan tangisnya. Suara itu terdengar asing baginya. “Kau siapa?” tanyanya sambil mengerjap-ngerjapkan mata.

Lelaki di hadapannya berjongkok lalu menatapnya. “Panggil aku Mang Dirman. Aku tukang kebun baru di sini. Oh ya, aku punya hadiah untukmu.” Lelaki itu merogoh sesuatu dari saku celananya. “Kau suka permen?”

Senyum bocah perempuan itu mengembang. Ibu sering membelikannya permen seperti itu. Permen tangkai besar berwarna pelangi. Ia akan menghabiskan permen itu dalam pangkuan ibu sambil mendengarkan dongeng tentang seorang putri jelita. Ibu sangat pandai mendongeng. Ah... ia sangat merindukan ibu.

“Jangan bersedih,” lelaki itu membelai-belai pipinya, “yuk, main dengan Mang Dirman.” Lelaki itu menggendongnya berputar-putar layaknya baling-baling helikopter. Persis seperti saat ayahnya mengajak bermain dulu.

“Pelan-pelan! Aku takut jatuh, Mang!” jerit bocah perempuan itu sambil tertawa kegirangan.

Nggak akan, percaya deh sama Mang Dirman.”

Lelaki itu terus berputar-putar hingga bocah perempuan itu merasa pusing. Lelaki itu perlahan menuju sebuah kamar sambil terus berputar. Lalu pintu tertutup. Beberapa saat kemudian, bocah perempuan itu keluar sambil merintih kesakitan. Permen tangkai berwarna pelangi dalam genggamannya masih utuh, sama sekali belum tersentuh.

***

“Berhentilah menangis...” Lelaki itu mengusap-usap rambut bocah perempuan itu.

Bocah perempuan itu terisak. Bagian tubuhnya terasa nyeri. Ia berusaha merangkak pergi. Lelaki itu membiarkannya. Bocah perempuan itu terus merangkak dengan kedua lututnya. Sekelilingnya mulai mengabur, sama seperti ketika lelaki itu menggendongnya berputar-putar. Tiba-tiba ia melihat ibu tersenyum padanya. Ibu merengkuhnya dan memberikannya permen tangkai berwarna pelangi. Besar sekali. Lalu ibu mulai mendongeng. Kisah tentang seorang putri jelita yang tertidur untuk selamanya.

***

Tepian DanauMu, 27 Juli 2016

Karya ini diikutsertakan dalam rangka mengikuti Event Bulan Kemanusiaan RTC

           

Sumber Ilustrasi: RTC.dok
Sumber Ilustrasi: RTC.dok

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun