Mohon tunggu...
Fitri Manalu
Fitri Manalu Mohon Tunggu... Lainnya - Best Fiction (2016)

#catatankecil

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perempuan Kampung Air Mata

10 Juli 2016   06:14 Diperbarui: 10 Juli 2016   15:05 479
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Ilustrasi: ashadeofpen.com

Tibamu saat purnama. Sewaktu malam merangkak naik ke atas singgasana dan menorehkan kepedihan pada jiwa-jiwa kesepian. Langkahmu tertatih meninggalkan Kampung Air Mata, tempat mimpi-mimpi diberangus dan cinta ditasbihkan menjadi kegeraman. Sekujur tubuhmu beraroma duka, senyummu berhiaskan luka. Ketika kau berpaling, kutemukan pilu sedang berenang-renang di kedalaman matamu.

Perempuan Kampung Air Mata. Begitulah orang-orang menyebutmu. Kehadiranmu senantiasa menebarkan kesedihan. Sepasang matamu laksana mantra yang mengundang setiap orang meneteskan air mata. Meski demikian, mereka memujamu. Setia menanti kehadiranmu bagai kanak-kanak yang merindukan ibunya. Kau ibarat oase. Pelepas dahaga bagi mereka yang ingin meluapkan kesesakan. Tapi tidak bagiku, karena aku telah lama kehilangan air mata.

Lelaki malang. Orang-orang menjulukiku demikian. Setiap purnama tiba, aku melolong pada rembulan dan menceracau dalam kehampaan. Mereka yang melintas mampu mengusap dada, prihatin dengan keadaanku. Namun, adapula yang menghardikku agar diam. Kepada mereka yang menghardikku, aku menatap nyalang dan mengumpat dari celah-celah kandang tempatku terkurung. Bila terbebas kelak, aku akan mencabik-cabik mereka dengan sepuluh jemariku.

Dulu, orang-orang mengenalku sebagai pemuda gagah. Gadis-gadis berusaha menarik perhatianku. Cuma seorang dara yang berhasil membuatku mabuk kepayang. Kemala, kembang yang menjadi buah bibir seisi kampung. Hatiku takluk di sudut kerling matanya. Semangatku membara untuk memenangkannya. Setelah berlomba dengan kumbang-kumbang lain yang terpikat keindahannya, Kemala akhirnya bisa kumiliki.

Sewindu setelah kupersunting, maut menjemput Kemala. Malam purnama menjadi saksi derai tangisku. Lara menghabisiku hingga tak bersisa. Aku meraung pada rembulan. Kepedihan membuatku bertekad menyusul Kemala ke alam baka agar kami tak terpisahkan. Tapi orang-orang mencegahku. Mereka merenggut tombak, belati, dan pedang dari genggamanku. Ketika hendak menjatuhkan diri ke dalam jurang, mereka beramai-ramai meringkusku. Mengikat kaki dan tanganku

Sia-sia aku bertanya mengapa mereka memperlakukanku demikian. Segala ucapanku seolah membentur angin. Orang-orang hanya membisu dan berpandangan satu sama lain. Seseorang menepuk-nepuk pundakku, membujukku agar melapangkan hati dan merelakan kepergian Kemala. Bagaimana mungkin aku melupakan? Ucapan orang itu membuatku murka. Aku mengamuk dan meronta. Ikatanku terlepas. Secepat kilat aku menyerang orang itu. Tapi orang-orang menahanku. Mereka menyeret tubuhku dan mengurungku dalam kandang pengap, lalu merantai sepasang kakiku. Sejak itu pula, aku menjadi manusia terkutuk.

Aku setia menanti rembulan purnama untuk mengabarkan rasa kehilangan. Bundaran terang yang menjadi saksi sebuah kepergian. Hingga suatu malam, kemunculanmu merenggut bayang-bayang Kemala dari pelupuk mataku. Saat orang-orang meneteskan air mata, aku terpana oleh pesonamu. Kau adalah Kemala dalam wujud yang lebih menawan. Hidung yang mencuat dan sepasang sabit yang memayungi tatapanmu membuatku takluk seketika.

***

Malam-malam menjelma menjadi penantian kehadiranmu. Hingga suatu malam, kau menghampiriku dan mengajakku berbincang. Mungkin iba. Kau mengabaikan celaan dan tatapan sinis orang-orang. Satu-satunya orang yang tak memperlakukanku layaknya orang terkutuk.

Suatu ketika, kuberanikan diri untuk bertanya, “Katakan padaku, mengapa kau pergi dari Kampung Air Mata?”

Kau menatapku muram. “Mereka mengusirku.”

“Mengapa?”

“Karena aku menginginkan cinta.”

“Pantas saja. Kau menginginkan hal yang ditabukan di Kampung Air Mata.”

“Menurutmu aku salah?” tanyamu sendu.

“Tidak, kau tak sepenuhnya salah.,” gelengku, “kisah kita nyaris sama.”

“Kau juga menginginkan cinta?”

“Bukan, aku hanya ingin mati,” gumamku lirih.

“Mati? Untuk apa?”

“Karena aku kehilangan cinta.”

“Itu sebabnya kau dikurung di sini?”

“Ya,” anggukku, “tak mengapa, selama aku bisa melihat rembulan purnama, juga melihatmu.”

“Aku?”

“Ya,” kataku terus terang.

“Mengapa?”

Kuulurkan jemariku dari celah-celah yang memisahkan dua dunia. Saat menyentuh helai-helai rambut yang menjurai di keningmu, jemariku bergetar. “Karena kau adalah perempuan dari surga. Paras dan hatimu lebih indah dari rembulan.”

Sepasang matamu bercahaya. Berpendar gaduh dalam kegelapan. Malam beranjak kian pekat. Hati kita terjalin erat mengusir keterasingan. Kita biarkan rembulan kesepian di langit malam.

***

Kau meyakini bahwa kisah ini akan menemukan jalannya kelak. Kita meneguhkan mimpi untuk tak telerai selain oleh tangan-tangan hitam maut. Lalu kita menggoreskan letupan-letupan jiwa pada kitab-kitab, dedaunan, patahan kayu, telapak tangan atau apa saja. Bila kau tiba menjelau, kekelaman pergi dariku. Hingga ketika purnama berikutnya tiba, kau lesap bagai bayang-bayang dan tak terjamah oleh kabar berita.

“Kalian tahu ke mana perginya Perempuan Kampung Air Mata?” tanyaku pada setiap orang yang melintas. Tiada yang menyahutiku. Pancaran mata mereka yang memancarkan rasa kehilangan membuatku kalut.

“Tolong beritahu aku...” Aku menghiba.

Orang-orang mengusap dada. Pikiranku semakin berkecamuk. Aku harus membebaskan diri dan mencarimu hingga ke ujung bumi. Kekuatan berlipat tak terbendung. Rantai yang membelenggu sepasang kakiku kurentak berkali-kali hingga terlepas. Orang-orang pun riuh berdatangan. Aku mendobrak kandang dan berusaha menerobos. Mereka tak tinggal diam. Lengan, kaki dan tubuhku seakan terkunci.

“Lepaskan! Aku harus mencarinya!”

“Tak perlu, kau tak perlu melakukannya,” jawab seseorang yang memegangi lenganku.

“Jangan melarangku! Aku harus menemukannya!”

“Tabahkan hatimu... perempuan itu bernasib sama dengan Kemala...”

“Kalian berdusta!” jeritku sekuat tenaga.

Orang-orang saling berpandangan dengan sorot mata kehilangan. Aku melolong dengan wajah bersimbah air mata. Cahaya berpendar redup di langit. Malam itu, rembulan purnama berlinang lara.

***

Tepian DanauMu, 10 Juli 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun