“Aku?”
“Ya,” kataku terus terang.
“Mengapa?”
Kuulurkan jemariku dari celah-celah yang memisahkan dua dunia. Saat menyentuh helai-helai rambut yang menjurai di keningmu, jemariku bergetar. “Karena kau adalah perempuan dari surga. Paras dan hatimu lebih indah dari rembulan.”
Sepasang matamu bercahaya. Berpendar gaduh dalam kegelapan. Malam beranjak kian pekat. Hati kita terjalin erat mengusir keterasingan. Kita biarkan rembulan kesepian di langit malam.
***
Kau meyakini bahwa kisah ini akan menemukan jalannya kelak. Kita meneguhkan mimpi untuk tak telerai selain oleh tangan-tangan hitam maut. Lalu kita menggoreskan letupan-letupan jiwa pada kitab-kitab, dedaunan, patahan kayu, telapak tangan atau apa saja. Bila kau tiba menjelau, kekelaman pergi dariku. Hingga ketika purnama berikutnya tiba, kau lesap bagai bayang-bayang dan tak terjamah oleh kabar berita.
“Kalian tahu ke mana perginya Perempuan Kampung Air Mata?” tanyaku pada setiap orang yang melintas. Tiada yang menyahutiku. Pancaran mata mereka yang memancarkan rasa kehilangan membuatku kalut.
“Tolong beritahu aku...” Aku menghiba.
Orang-orang mengusap dada. Pikiranku semakin berkecamuk. Aku harus membebaskan diri dan mencarimu hingga ke ujung bumi. Kekuatan berlipat tak terbendung. Rantai yang membelenggu sepasang kakiku kurentak berkali-kali hingga terlepas. Orang-orang pun riuh berdatangan. Aku mendobrak kandang dan berusaha menerobos. Mereka tak tinggal diam. Lengan, kaki dan tubuhku seakan terkunci.
“Lepaskan! Aku harus mencarinya!”