Mohon tunggu...
Fitri Manalu
Fitri Manalu Mohon Tunggu... Lainnya - Best Fiction (2016)

#catatankecil

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kau Tak Ingin Berhenti Sejenak Pada Titik Rasa  

11 Maret 2016   07:57 Diperbarui: 11 Maret 2016   09:52 383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber Ilustrasi: m.tempo.co"][/caption] 

Sinar pagi menerobos masuk lewat celah-celah tirai jendela. Membangunkan mimpiku lebih awal dari kemarin. Sehari sebelum akhir pekan. Sisa-sisa malam belum beranjak dari lelapmu. Suara tidurmu berirama letih seperti biasanya. Kau baru berbaring di sisiku sejam yang lalu. Lagi. Seperti hari-hari kemarin.

Perlahan aku beranjak dari pembaringan. Merapikan rambut ikalku dalam satu ikatan lalu membasuh muka di wastafel. Aku melangkah menuju pintu depan. Pintu berderit pelan. Aroma pagi menerobos masuk. Kuregangkan tubuh sejenak lalu memungut koran pagi. Menaruh berita hari ini di atas meja makan. Kau akan mencarinya bila terjaga nanti. Lalu membacanya sambil menggerutu tentang ketidakadilan yang tersaji hari ini. Bocah-bocah kelaparan, orang-orang teraniaya, atau hal-hal lain yang menaikkan kemarahanmu dua kali lebih cepat dari biasanya. Kau lupa, ketidakadilan acap bertahta di rumah tempatmu berteduh. Sepotong hati yang sering kau beri pilu. Aku.

Kuamati seisi rumah selintas. Cangkir dan piring kotor, tumpukan buku di sembarang tempat, ceceran makanan di atas karpet dan layar monitor yang masih menyala. Kekacauan malam hari yang kau timbulkan ketika aku tertidur. Kupadaman layar monitor, lalu bergegas mengambil peralatan untuk membersihkan seisi rumah.

“Eleanor, jangan berisik!” teriakmu ketika langkahku tersandung kaki meja dan menimbulkan suara gaduh.

“Maaf, aku tak sengaja,” balasku. Aku bergerak lebih hati-hati. Tak ingin kau murka dan mengucapkan kata-kata yang melukaiku, atau semakin menambah luka.

Hari telah benderang. Semua sudah berada kembali di tempatnya. Rapi dan bersih. Aroma cokelat dan donat memenuhi dapur. Langkahmu terseret. Sambil menguap tak henti, kau mengempaskan tubuhmu di kursi makan.

“Aku letih dan lapar,” keluhmu. Lingkaran hitam membayangi sepasang matamu.

Kusodorkan secangkir cokelat dan sepiring donat dalam diam. Kata-kata seringkali berbalas kalimat singkat yang membuatku tersudut. Mungkin hal-hal yang kupikirkan lebih sederhana. Tak serumit maksud ucapanmu atau kata-kata yang kau tuliskan.

Keningmu berkerut saat membaca kepala berita. “Dasar dungu! Memalukan!” Kau mulai berceloteh tentang hal-hal benar yang harusnya dilakukan. Dunia ini aneh dan menggelikan. Itulah pendapatmu tentang berita hari ini. Kata-katamu sarat ketidakpuasan. Aku mendengarkan sambil mengangguk sesekali. Segelintir saja yang bisa kumaknai. Selebihnya, aku cuma mengira-ngira. Kupikir lebih baik membiarkanmu. Setidaknya, kemarahanmu bukan tertuju padaku.

Kau berhenti bicara dan meletakkan koran. Letih. Menyeruput cokelat hangat lalu menggigit donatmu. Sebuah pikiran tiba-tiba menggangguku. Sudah lama aku tak bercerita padamu. Mungkin kali ini kau mau mendengar apa yang kupikirkan.

“Mmm… tahukah kau? Ada beberapa hal yang menggangguku.”

Kau terus mengunyah. Sekilas menatapku tak acuh.

“Sepertinya, aku harus mencari kesibukan. Kau menghabiskan waktumu di depan layar monitor seharian. Kupikir… aku merasa agak kesepian.” Kata-kataku terhenti. “Kau ingat Alice? Sahabatku itu tak pernah lagi menghubungiku. Mungkin dia terlalu sibuk dengan anak-anaknya. Hmm… bunga-bunga krisan yang kutanam minggu lalu semuanya mati. Pengantar susu sudah berhari-hari tak datang. Kita tak pernah lagi minum susu segar. Semua itu benar-benar membuatku sedih. Entah mengapa…”

“Lalu?” Sepasang matamu mengarah padaku.

“Rumah ini terasa begitu sunyi dan…”

Kau meletakkan donat dalam genggamanmu dan menatapku penuh cela. “Cuma itu yang ingin kau sampaikan? Sudah berapa kali kukatakan, jangan penuhi hati dan pikiranmu dengan sampah!”

“Sampah?” hatiku terluka, “aku cuma menceritakan apa yang kurasakan,” gumamku nyaris tak percaya.

“Ya, itu semua sampah!” tegasmu. “Hanya karena kau seorang perempuan. Kalau tidak, takkan kubiarkan kau terus berceloteh tak karuan.”

“Apa maksudmu?” Suaraku bergetar menahan kekecewaan. “Aku memercayaimu. Tapi kau malah…”

“Lantas, aku harus berpikir apa? Kau merasa kesepian? Jangan bertingkah seperti anak kecil. Menulis membuatku tetap hidup. Orang-orang menanti karyaku. Aku tak punya waktu berpikir tidak-tidak sepertimu!”

Anak kecil? Kesadaranku tercabik-cabik seketika. “Kau ingin tahu apa yang kupikirkan? Kau cuma memikirkan dirimu sendiri. Duniamu! Kata-katamu! Karya-karyamu! Kau bahkan mencercaku dalam karya-karyamu itu!” Kemarahanku meluap-luap tak terbendung. Aku benar-benar ingin menuntaskannya. Menginginkan pengakuan dan satu kata sederhana: maaf.

“Ck ck ck… menyedihkan. Kau dan sampah-sampah pikiranmu itu. Kau telah kehilangan kewarasanmu,” tudingmu sambil menggeleng-gelengkan kepalamu. Prihatin. Memandangku seakan benar: akulah sampah busuk yang teronggok di selokan.

“Kewarasan? Menurutmu aku gila?”

“Kau sakit,” ucapmu tanpa ampun. “Hal-hal aneh menguasai pikiranmu.”

Rasa geli yang merambat di perutku membuatku terbahak-bahak. Seiring dengan itu, air mata meleleh dari sudut mataku. “Sakit katamu? Setelah apa yang kita lalui, cuma itu yang bisa kau hadiahkan padaku? Sampah? Sakit?”

“Hentikanlah, Eleanor! Kau membuang waktuku. Aku harus menulis sekarang.” Kau beranjak meninggalkanku yang masih tertawa dan menangis. Menyambar duniamu dari atas meja lalu masuk ke dalam kamar sambil menggerutu.

***

Sinar mentari kembali menerobos masuk lewat celah-celah tirai. Menghampiriku yang semalaman terjaga. Suara tidurmu masih berirama letih. Lebih letih dari pagi-pagi sebelumnya. Kau baru saja berbaring di sisiku beberapa menit yang lalu. Setelah kita saling melemparkan kata-kata yang kau akhiri dengan: kau sudah melewati batas dan aku tak ingin berurusan denganmu lagi.

Pergi. Seonggok sampah pada akhirnya memang tak diinginkan. Setelah tawa mengawali perjalanan di rumah tempat kita berteduh, kebencian akhirnya berkuasa dan merenggut segalanya. Memenangkan kita begitu mudah. Semudah kau menancapkan duri dan tak berniat mencabutnya. Pun semudah kau mengucapkan perpisahan.

Pintu depan berderit. Aroma pagi hangat dan segar. Langit luas dan cerah. Langkah-langkahku bergegas pergi. Membawa sejauh mungkin rasaku yang terempas. Suatu pagi mungkin kau akan merindukanku. Atau selamanya takkan pernah. Karena seperti katamu: kau tak ingin berhenti sejenak pada titik rasa. Aku.

***

Tepian DanauMu, 10 Maret 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun