“Ck ck ck… menyedihkan. Kau dan sampah-sampah pikiranmu itu. Kau telah kehilangan kewarasanmu,” tudingmu sambil menggeleng-gelengkan kepalamu. Prihatin. Memandangku seakan benar: akulah sampah busuk yang teronggok di selokan.
“Kewarasan? Menurutmu aku gila?”
“Kau sakit,” ucapmu tanpa ampun. “Hal-hal aneh menguasai pikiranmu.”
Rasa geli yang merambat di perutku membuatku terbahak-bahak. Seiring dengan itu, air mata meleleh dari sudut mataku. “Sakit katamu? Setelah apa yang kita lalui, cuma itu yang bisa kau hadiahkan padaku? Sampah? Sakit?”
“Hentikanlah, Eleanor! Kau membuang waktuku. Aku harus menulis sekarang.” Kau beranjak meninggalkanku yang masih tertawa dan menangis. Menyambar duniamu dari atas meja lalu masuk ke dalam kamar sambil menggerutu.
***
Sinar mentari kembali menerobos masuk lewat celah-celah tirai. Menghampiriku yang semalaman terjaga. Suara tidurmu masih berirama letih. Lebih letih dari pagi-pagi sebelumnya. Kau baru saja berbaring di sisiku beberapa menit yang lalu. Setelah kita saling melemparkan kata-kata yang kau akhiri dengan: kau sudah melewati batas dan aku tak ingin berurusan denganmu lagi.
Pergi. Seonggok sampah pada akhirnya memang tak diinginkan. Setelah tawa mengawali perjalanan di rumah tempat kita berteduh, kebencian akhirnya berkuasa dan merenggut segalanya. Memenangkan kita begitu mudah. Semudah kau menancapkan duri dan tak berniat mencabutnya. Pun semudah kau mengucapkan perpisahan.
Pintu depan berderit. Aroma pagi hangat dan segar. Langit luas dan cerah. Langkah-langkahku bergegas pergi. Membawa sejauh mungkin rasaku yang terempas. Suatu pagi mungkin kau akan merindukanku. Atau selamanya takkan pernah. Karena seperti katamu: kau tak ingin berhenti sejenak pada titik rasa. Aku.
***
Tepian DanauMu, 10 Maret 2016