“Mmm… tahukah kau? Ada beberapa hal yang menggangguku.”
Kau terus mengunyah. Sekilas menatapku tak acuh.
“Sepertinya, aku harus mencari kesibukan. Kau menghabiskan waktumu di depan layar monitor seharian. Kupikir… aku merasa agak kesepian.” Kata-kataku terhenti. “Kau ingat Alice? Sahabatku itu tak pernah lagi menghubungiku. Mungkin dia terlalu sibuk dengan anak-anaknya. Hmm… bunga-bunga krisan yang kutanam minggu lalu semuanya mati. Pengantar susu sudah berhari-hari tak datang. Kita tak pernah lagi minum susu segar. Semua itu benar-benar membuatku sedih. Entah mengapa…”
“Lalu?” Sepasang matamu mengarah padaku.
“Rumah ini terasa begitu sunyi dan…”
Kau meletakkan donat dalam genggamanmu dan menatapku penuh cela. “Cuma itu yang ingin kau sampaikan? Sudah berapa kali kukatakan, jangan penuhi hati dan pikiranmu dengan sampah!”
“Sampah?” hatiku terluka, “aku cuma menceritakan apa yang kurasakan,” gumamku nyaris tak percaya.
“Ya, itu semua sampah!” tegasmu. “Hanya karena kau seorang perempuan. Kalau tidak, takkan kubiarkan kau terus berceloteh tak karuan.”
“Apa maksudmu?” Suaraku bergetar menahan kekecewaan. “Aku memercayaimu. Tapi kau malah…”
“Lantas, aku harus berpikir apa? Kau merasa kesepian? Jangan bertingkah seperti anak kecil. Menulis membuatku tetap hidup. Orang-orang menanti karyaku. Aku tak punya waktu berpikir tidak-tidak sepertimu!”
Anak kecil? Kesadaranku tercabik-cabik seketika. “Kau ingin tahu apa yang kupikirkan? Kau cuma memikirkan dirimu sendiri. Duniamu! Kata-katamu! Karya-karyamu! Kau bahkan mencercaku dalam karya-karyamu itu!” Kemarahanku meluap-luap tak terbendung. Aku benar-benar ingin menuntaskannya. Menginginkan pengakuan dan satu kata sederhana: maaf.