“Sepertinya, aku harus pergi sekarang,” katamu gelisah.
“Mengapa?” Lelaki itu keheranan. “Kita bisa duduk bertiga dan berbincang tentang masa lalu kalian.”
“Tak perlu!” Kau menutup mulutmu dengan jemari. Kepanikan meletup dalam suaramu. “Maksudku… kami sudah lama berbincang. Bukankah begitu?” Kau menatapku dengan sorot mata memohon.
“Dia benar, pembicaraan kami sudah selesai,” kataku berusaha bersikap santai.
“Baiklah kalau begitu. Mari kita pergi,” ajak lelaki itu lalu mengangguk ke arahku. “Sampai bertemu lagi.”
“Sampai bertemu lagi.” Aku menatapmu untuk terakhir kali lalu memalingkan wajah. Sengaja aku tak memandangi punggungmu yang menjauh pergi. Hal itu akan menjadi kenangan yang menyakitkan.
Gerimis telah usai, seiring malam yang merambat turun. Aku beranjak dari kursiku. Jemariku menelusuri foto-foto yang terpajang di dinding kafe favoritmu dan berhenti pada satu foto. Foto seorang lelaki yang sedang menyematkan cincin pada seorang gadis yang tersenyum bahagia. Kau. Foto itu kutemukan sebelum kau datang menemuiku di kafe ini. Aku berpura-pura tak mengetahui dustamu. Semata demi memuaskan rindu yang menuntunku untuk bertemu. Kurogoh sebentuk cincin dari saku kemejaku. Cincin itu berdenting ketika menyentuh dasar cangkir yang telah kosong.
Selamat tinggal…
***
Tepian DanauMu, 11 Februari 2016