“Kau benar,” kataku setelah menghirup secangkir kopi milikku. “Aku memintamu bertemu di sini karena melihat foto yang kau unggah di akunmu.”
“Hmmm… ya, aku betah berlama-lama di sini bila sedang jenuh,” ujarmu.
“Sepertinya aku juga demikian,” kataku lalu mengedarkan pandang. Kafe favoritmu ini memang nyaman. Suasananya tenang. Foto-foto pengunjung yang memenuhi dinding-dindingnya bercerita lewat berbagai ekspresi yang terekam di sana. Ornamen kayu dan dominasi warna cokelat mengesankan kehangatan. Teras kayunya dipenuhi pot-pot berisi tanaman yang menghijau. Kehadiran kolam yang terletak di ujung teras menyempurnakan semua itu.
“Kapan kau akan pulang?” tanyamu.
Aku tersentak. “Aku baru tiba sejam yang lalu. Mengapa kau sudah bertanya soal kepulangan?”
“Bukan apa-apa,” kau mengangkat cangkir lalu menghirup kopimu.
“Kau terganggu dengan kedatanganku? Maaf bila tak memberitahumu lebih dulu.”
“Lebih tepatnya terkejut,” katamu sambil memainkan cangkir dalam genggamanmu lalu menatapku, “siapa pun yang berada di posisiku pasti merasakan hal yang sama.”
“Sekali lagi, maafkan aku. Rindu terkadang membuat orang kehilangan akal,” ucapku sedikit malu. Teringat tadi malam, saat kuputuskan mengunjungimu ke kota ini. Setahun bersapa di ruang maya, hatiku sungguh penat dilanda rindu. Siang ini, niat untuk bersua terwujud dan aku tak menyesali kedatanganku.
“Bagaimana caranya kau tiba di kafe ini?”
“Aku selalu mengamati foto-foto yang kau unggah. Mengingat segala yang kau sukai, juga apa-apa yang kau benci. Tentu saja, aku harus berterima kasih pada supir taksi yang telah mengantarku ke alamat yang benar.”