Mohon tunggu...
Fitri Manalu
Fitri Manalu Mohon Tunggu... Lainnya - Best Fiction (2016)

#catatankecil

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kita, Kopi, dan Gerimis yang Runtuh

11 Februari 2016   18:23 Diperbarui: 24 Maret 2016   18:25 756
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber ilustrasi: www.yangmuda.com"][/caption]

Kita, kopi dan gerimis yang runtuh. Ada rindu yang menguar dari cangkir yang belum tersentuh. Senja baru akan memulai waktu ketika irama tercipta di teras kayu tempat kita bertemu. Kebisuan terasa ngilu. Pendaran matamu menghadirkan ragu. Mencuatkan sebuah tanya yang bertalu. Akankah tibaku berakhir kelu?

Gelisah menari-nari di manik matamu. Jemarimu sesekali mengetuk meja. Kau membuang pandang ke jendela. Seakan menanti seseorang yang akan membawamu. Lalu kau bersenandung kecil, merapikan sweter putih yang membungkusmu sambil mengeluh tentang udara yang semakin membeku.

“Kau kedinginan?” Kalimat pertamaku seharusnya adalah: aku senang akhirnya kita bertemu. Tapi kau terlihat begitu rapuh, mengundang niatku untuk melindungimu.

“Sedikit,” ujarmu.

Aku menarik nafas. Meredam hasrat untuk merengkuhmu dalam pelukan. Kulepaskan jaket yang kukenakan. “Pakailah.”

“Terima kasih.”

Kau mengenakan jaket itu. Terlihat kebesaran di tubuhmu. Menggemaskan. Diam-diam aku tersenyum geli. “Bagaimana?”

“Lebih hangat.” 

Akhirnya kau tersenyum. Lebih menawan dari senyum di foto yang kuterima darimu. Kebisuan yang ngilu berangsur pergi dari kita. Mungkin, itulah sebabnya mengapa hatiku selalu terjamah rindu. Kau adalah bidadari yang menjelma nyata di hadapanku. “Minumlah kopimu sebelum dingin,” bujukku.

Kau menurut. Secangkir kopi berpindah ke bibirmu. Kau hirup perlahan dan berucap, “Kopi yang nikmat, seperti biasanya.”

“Kau benar,” kataku setelah menghirup secangkir kopi milikku. “Aku memintamu bertemu di sini karena melihat foto yang kau unggah di akunmu.”

Hmmm… ya, aku betah berlama-lama di sini bila sedang jenuh,” ujarmu.

“Sepertinya aku juga demikian,” kataku lalu mengedarkan pandang. Kafe favoritmu ini memang nyaman. Suasananya tenang. Foto-foto pengunjung yang memenuhi dinding-dindingnya bercerita lewat berbagai ekspresi yang terekam di sana. Ornamen kayu dan dominasi warna cokelat mengesankan kehangatan. Teras kayunya dipenuhi pot-pot berisi tanaman yang menghijau. Kehadiran kolam yang terletak di ujung teras menyempurnakan semua itu.

“Kapan kau akan pulang?” tanyamu.

Aku tersentak. “Aku baru tiba sejam yang lalu. Mengapa kau sudah bertanya soal kepulangan?”

“Bukan apa-apa,” kau mengangkat cangkir lalu menghirup kopimu.

“Kau terganggu dengan kedatanganku? Maaf bila tak memberitahumu lebih dulu.”

“Lebih tepatnya terkejut,” katamu sambil memainkan cangkir dalam genggamanmu lalu menatapku, “siapa pun yang berada di posisiku pasti merasakan hal yang sama.”

“Sekali lagi, maafkan aku. Rindu terkadang membuat orang kehilangan akal,” ucapku sedikit malu. Teringat tadi malam, saat kuputuskan mengunjungimu ke kota ini. Setahun bersapa di ruang maya, hatiku sungguh penat dilanda rindu. Siang ini, niat untuk bersua terwujud dan aku tak menyesali kedatanganku.

“Bagaimana caranya kau tiba di kafe ini?”

“Aku selalu mengamati foto-foto yang kau unggah. Mengingat segala yang kau sukai, juga apa-apa yang kau benci. Tentu saja, aku harus berterima kasih pada supir taksi yang telah mengantarku ke alamat yang benar.”

Kita tertawa. Berbincang seiring gerimis yang berirama. Senja terus bergulir kian remang. Suara, senyum dan tawamu memuaskan rinduku. Selanjutnya jawaban yang akan menentukan langkahku. Pergi selamanya, atau pulang untuk kembali berada di sisimu. Kopi di cangkir kita telah habis. Tiba saat untuk menuntaskan ragu.

“Kupikir, kau mengerti maksud kedatanganku.”

Kau terdiam. Kalimatku telah merenggut senyum di bibirmu.

“Aku ingin memilikimu.”

Kau menatapku. “Kau sudah berulangkali mengatakannya.”

“Tibaku untuk sebuah jawaban.”

Mmm…”

Gumamanmu terputus. Seorang lelaki menghampiri kita. Dia merangkul bahumu. “Kau di sini? Berkali-kali aku menghubungimu, namun gagal.” Lelaki itu menatapku penasaran. “Temanmu? Kau tak pernah mengenalkannya padaku sebelumnya.”

Parasmu memutih. “Eh… oh… bukan! Dia… teman lamaku. Kami tak sengaja bertemu di sini.”

“Perkenalkan, aku tunangannya.” Lelaki itu mengulurkan tangan sambil tersenyum lebar.

“Senang bisa bertemu,” sambutku. Ketika kami berjabat tangan, kau tertunduk dengan wajah pias.

“Sepertinya, aku harus pergi sekarang,” katamu gelisah.

“Mengapa?” Lelaki itu keheranan. “Kita bisa duduk bertiga dan berbincang tentang masa lalu kalian.”

“Tak perlu!” Kau menutup mulutmu dengan jemari. Kepanikan meletup dalam suaramu. “Maksudku… kami sudah lama berbincang. Bukankah begitu?” Kau menatapku dengan sorot mata memohon.

“Dia benar, pembicaraan kami sudah selesai,” kataku berusaha bersikap santai.

“Baiklah kalau begitu. Mari kita pergi,” ajak lelaki itu lalu mengangguk ke arahku. “Sampai bertemu lagi.”

“Sampai bertemu lagi.” Aku menatapmu untuk terakhir kali lalu memalingkan wajah. Sengaja aku tak memandangi punggungmu yang menjauh pergi. Hal itu akan menjadi kenangan yang menyakitkan.

Gerimis telah usai, seiring malam yang merambat turun. Aku beranjak dari kursiku. Jemariku menelusuri foto-foto yang terpajang di dinding kafe favoritmu dan berhenti pada satu foto. Foto seorang lelaki yang sedang menyematkan cincin pada seorang gadis yang tersenyum bahagia. Kau. Foto itu kutemukan sebelum kau datang menemuiku di kafe ini. Aku berpura-pura tak mengetahui dustamu. Semata demi memuaskan rindu yang menuntunku untuk bertemu. Kurogoh sebentuk cincin dari saku kemejaku. Cincin itu berdenting ketika menyentuh dasar cangkir yang telah kosong.

Selamat tinggal…

***

Tepian DanauMu, 11 Februari 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun