Jarum jam sudah menunjukkan pukul lima lewat tiga puluh menit. Ruangan accounting mulai lengang. Satu per satu teman sekantornya mulai pulang. Mereka mengajaknya, tapi Cora masih enggan. Suasana rumah tak menimbulkan keinginan untuk pulang.
“Ayo, kuantar pulang,” ajak Ramon. Cora melihat sekeliling, tinggal mereka berdua yang ada di ruangan itu.
“Pulang saja duluan... Pekerjaanku belum selesai,” tolak Cora.
Ramon mendesah kecewa. “Kamu nggak pernah mengiyakan ajakanku. Kenapa, sih?”
“Kamu ‘kan tahu, aku nggak pernah mengajak siapa pun singgah ke rumahku.”
“Why?”
“Karena aku tak mau, itu saja.”
Cora tak pernah membuka identitas dirinya. Ia selalu tiba di kantor dengan kendaraan umum dengan setelan kerja sederhana. Tak ada yang tahu bahwa ia adalah putri angkat keluarga Howitt kecuali HRD. Cora sudah memohon agar mereka tak bicara apa-apa tentang dirinya sejak hari pertama diterima bekerja di kantor ini.
“Baiklah, aku nggak akan memaksa,” helaan nafas lelaki itu menyiratkan kekecewaan yang mendalam.
Senyuman mohon maaf Cora mengantarkan Ramon menuju ke pintu. Sangat pengertian, pikir gadis itu dalam hati.
Sepeninggal Ramon, Cora meneruskan kembali pekerjaannya. Akhir bulan adalah saat di mana pekerjaan sedang menumpuk. Seharian bekerja keras membuat pikiran dan tubuhnya terasa penat.