Ramon menunjukkan ekspresi kecewa.“Ayolah, sesekali bilang kalau kau sedang memikirkanku. ”
Lelaki ini paling bisa membuatnya merasa bersalah, pikir Cora geli. “Mmm.. cuma sedang berpikir. Mungkin beberapa donat cocok untuk menemani kopiku,” Cora mencoba bersikap ramah.
“Donat? Baiklah, tunggu sebentar.”
Sebentar kemudian Ramon sudah memanggil Sardi, office boy yang sigap dan cekatan bila disuruh membeli ini dan itu. Meski kadang sering gagal memahami pesanan yang diberikan padanya.
“Sar, tolong belikan donat di toko kue di seberang jalan ya,” pinta lelaki itu.
“Siap bos!” Terdengar jawaban Sardi menyanggupi permintaan Ramon. “Mmm… rasa apa?” Nada suara office boy itu terdengar ragu.
“Aduhhh, sini aku tuliskan saja,” keluh Ramon lalu meminta kertas memo pada Cora.
Cora tersenyum saat melihat lelaki itu menuliskan pesanannya. Ramon selalu punya waktu untuknya. Bahkan untuk hal-hal kecil sekali pun. Seharusnya tak sulit untuk menaruh perasaan yang sama. Tapi, ia tak pernah bisa.
Suatu kali, lelaki itu pernah bertanya padanya, apa yang harus ia lakukan agar Cora bisa menyukainya? Saat itu, Cora benar-benar kehilangan kata-kata. Ramon adalah sosok nyata dalam kesehariannya. Seorang pekerja keras yang berjiwa sederhana. Lelaki berkacamata itu tidak jelek. Boleh dibilang cukup menarik. Ia dikenal sebagai lelaki baik yang suka menolong rekannya di kantor.
Saat sekotak donat sudah berada di samping secangkir kopinya pagi itu, Cora menyadari satu hal. Ramon adalah mentari yang mencerahkan hari-harinya.
***