Mohon tunggu...
Fitri Lestari
Fitri Lestari Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pergulatan Pemikiran dalam Pencapaian Hukum yang Berperspektif Kesetaraan & Keadilan

29 Oktober 2015   22:56 Diperbarui: 29 Oktober 2015   23:22 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

                Salah satu akibat ketidaksetaraan gender adalah marginalisasi, terutama terhadap perempuan. Anggapan bahwa perempuan merupakan makhluk lemah, lembut, halus. Sensitif dan sifat feminim lainnya membuatnya tidak meiliki kesempatan sama dengan laki-laki. Hak-haknya untuk diperlakukan sama dengan laki-laki dipinggirkan, bahkan tergusur dan tidak menjunjung rasa kemanusiaan. Perempuan dianggap warga kelas dua. Seperti yang dituliskan oleh Simone De Beauvoir, The Second Sex, dimana perempuan yang termarginalkan oleh kontruksi sosial menjadikan mereka hanya bergerak di ranah privat dan bahkan sosio-kulutal indonesia saat ini menunjukan ketidakadilannya dengan hanya memberikan kuota 30% perempuan dapat berpartisipasi dalam kegiatan politik, diatur dalam UU Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum DPR, DPD dan DPRD.

Mengingat apa yang diperjuangkan oleh feminis bahwa perempuanpun berhak bergerak dalam bidang sosial, politik dan ekonomi. Kehidupan perempuan yang hanya berada di rumah dan keluarga, menjadikannya makluk yang pasif dan tidak bergerak di ranah-ranah luar bukan karena perempuan tidak mampu tetapi lebih karena tidak adanya alternatif lain. Maka perjuangan feminispun harus terus didengungkan terutama dengan terjun ke bidang politik dan hukum. Karena perempuan juga diciptakan secara rasional dan bahkan mampu terjun dalam kehidupan publik layaknya laki-laki, seperti berkontribusi dalam politik, sosial dan moral. Perkembangan kesetaraan gender di negara Jerman bahkan dikenal dengan adanya houseman maka gerak-gerak kepentingan keluarga tidak akan dilingkari oleh seorang ibu saja namun juga seorang ayah demikian juga dengan gerak-gerak di ranah publik perempuan dan laki-laki sama-sama dapat dipantaskan.  

Pengantar Teori Feminis

Teori feminis adalah sebuah generalisasi dari berbagai sistem gagasan mengenai kehidupan sosial dan pengalaman manusia yang dikembangkan dari perspektif yang terpusat pada perempuan. Teori ini terpusat pada perempuan dalam tiga hal. Pertama, sasaran utama studinya, titik tolak seluruh penelitiannya, adalah situasi dan pengalaman perempuan dalam masyarakat. Kedua, dalam proses penelitiannya, perempuan menjadi “sasaran” sentral;  artinya, mencoba melihat dunia dengan sudut pandang perempuan. Ketiga, teori feminis dikembangkan oleh pemikir kritis dan aktivis atau pejuang demi kepentingan perempuan, yang mencoba menciptakan kehidupan yang lebih baik untuk perempuan – dan dengan demikian, menurut mereka, untuk kemanusiaan.[5]

Feminist Legal Theory (FLT) atau Feminist Jurisprudence telah berpengaruh pada pemikiran hukum selama beberapa dekade terakhir. Hal ini tampak dari selalu diselipkannya pembahasan yang berkaitan dengan FLT dalam sebuah buku, seminar atau diskusi yang membahas tentang teori hukum. Pemikiran awal dari FLT itu sendiri muncul mengikuti gelombang-gelombang pemikiran feminis, khususnya gelombang kedua dari feminis Amerika yang merefleksikan ketertarikan feminis pada bidang hukum, tepatnya pada akhir tahun 1960-an hingga awal 1970-an. Hal ini antara lain disebabkan meningkatnya perempuan Amerika yang memilih bidang studi hukum pada masa itu dan dimulainya kritik-kritik mereka pada teori-teori hukum yang tidak memiliki konstribusi pada permasalahan hukum yang ada, yang berkaitan dengan perempuan.[6]

Mereka mempertanyakan mengapa kurikulum fakultas hukum tidak berisikan materi-materi yang membahas adanya kesenjangan dalam pembayaran upah buruh perempuan, tentang perkosaan, kekerasan terhadap perempuan, aborsi, dan lain-lain. Kenyataannya kemunculan FLT di dunia Barat (Amerika, khususnya) memang bersamaan dengan bangkitnya reaksi feminist legilator terhadap masalah-masalah hukum, khusus yang berkaitan dengan perempuan.

FLT yang memunculkan suatu metode analisis khas feminis dalam hukum, banyak digunakan untuk menganalisis masalah-masalah yang sangat luas dalam bidang hukum. Pengkajiannya antara lain dengan mengkritisi hukum dari sudut feminis sebagai suatu kajian yang utama. Pembongkaran atau kritik yang diajukan dapat menggunakan antara lain teori dekonstruksi[7] yang mencoba menguraikan atau menginterpretasikan makna hukum dari sudut pandang yang berbeda, yaitu sudut pandang feminis.

Teori Hukum Feminis

                Berbicara mengeni ilmu hukum, kita akan berhadapan dengan suatu ilmu dengan sasaran objek yang nyaris tak bertepi. Objek yang bernama hukum itu menjadi begitu luas karena ia bersentuhan dengan sejumlah besar aspek kehidupan manusia, sebut saja: manusia sendiri, masyarakat, negara politik, sosial ekonomi, sejarah, psikologi, filsafat dan aspek-aspek hidup yang lain.

                Teori Hukum Feminis atau Feminist Legal Theory (FLT) muncul pertama kali pada tahun 1970-an, bersamaan dengan berkembangnya gerakan Critical Legal Studies (CLS) di Amerika. Sebagai sebuah pemikiran yang berusaha melakukan terobosan terhadap berlakunya hukum terhadap perempuan dan diskriminasi yang didapat perempuan dari hukum, arus utama teori hukum feminis dapat dikatakan memiliki kemiripan dengan CLS. Karena itu dalam beberapa pembahasan tentang Jurisprudence, teori hukum feminis dimasukkan sebagai salah satu bab di dalam pembahasan CLS.[8]

                Pihak yang mengemukakan Feminist Legal Theory menyatakan bahwa bahkan CLS sekalipun menyoroti keberlakuan hukum semata dari sudut pandang laki-laki, demikian pula pemikiran-pemikiran Jurisprudence lainnya. Dikatakan bahwa hukum dan legal teori adalah lahan laki-laki, adalah laki-laki yang menyusun hukum dan teori tentang hukum.[9] Selanjutnya, hukum dan hasil putusannya merefleksikan nilai-nilai laki-laki atau nilai-nilai maskulin. Laki-laki yang membangun dunia hukum itulah yang kemudian berdampak kepada kelompok lain yang tidak terwakili dalam nilai-nilai tersebut. Nilai-nilai itupun sudah sedemikian melekatnya sehingga dianggap nilai yang umum dan absolut dengan meniadakan adanya nilai yang lain.[10]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun