"Oh, ya ... ya .... Kakak juga tak ingin Adik pergi. Pengen bersama terus." Aku sangat gugup. Aku keceplosan berbicara. Bahkan aku tak sadar apa yang kuucapkan. Tiba-tiba kata itu  meluncur dari mulut. Kulihat ada binar bahagia di mata Hida. Jantungku makin berdebar.
"Kenapa Kakak saat itu tiba-tiba menghilang?" Hida mulai menyelidik.
"Apakah aku masih harus bertahan? Setelah semuanya berakhir?"
"Kakak tak pernah memberi kabar padaku."
 Aku tersentak. Sebenarnya enggan mengenang kembali perjalanan hidup yang kami lalui. Mengorek luka lama. Aku tak menyangka Hida mengajukan pertanyaan yang sangat mengejutkan.
"Adik, beberapa kali Kakak kirim surat padamu. Bukankah itu berarti Adik sudah mengetahuinya?"
"Innalillahi ... aku tidak pernah menerimanya, Kak."
"Ah ... nggak mungkinlah. Adik membalasnya. Saat Kakak minta fotomu, adik kirimkan juga."
"Maaf, Kak. Sedikitpun tak ada yang tersisa di ingatanku. Mungkin orang lain yang membalasnya."
"Ah, tidak mungkin orang lain membalasnya. Saat itu pembicaraan kita juga nyambung. Kalau orang lain yang balas tak mungkin dia tahu permasalahan kita."
"Aneh, kenapa aku tidak ingat?"