Mohon tunggu...
Fitri Haryanti Harsono
Fitri Haryanti Harsono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis di Kementerian Kesehatan RI

Akrab disapa Fitri Oshin | Jurnalis Kesehatan Liputan6.com 2016-2024. Spesialisasi menulis kebijakan kesehatan. Bidang peminatan yang diampu meliputi Infectious disease, Health system, One Health, dan Global Health Security.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Pandemi Covid-19 Dianggap Rekayasa, Benarkah?

19 November 2024   19:28 Diperbarui: 19 November 2024   19:48 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kembali beredar klaim yang menyatakan pandemi COVID-19 itu rekayasa. (Image by Freepik)

Selama tiga tahun, Indonesia dan dunia dilanda pandemi COVID-19. Kerja keras menanggulangi pandemi pun membuahkan hasil, hingga akhirnya Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencabut darurat kesehatan global COVID-19 pada 2023.  

Perjalanan waktu diterpa krisis kesehatan semasa pandemi rupanya masih memunculkan klaim-klaim seputar COVID-19 yang kerap dibahas. Narasi pandemi COVID-19 dianggap rekayasa kembali mencuat di kalangan publik. 

Kita ingat saat COVID-19 melanda, klaim serupa sempat ramai di media sosial. Bahkan tak tanggung-tanggung, klaim lainnya menyebut pandemi COVID-19 sebagai agenda asing terselubung atau agenda elit asing dan virus SARS-CoV-2 itu tidak ada. 

Faktanya, narasi tersebut tidak benar. Penegasan ini telah disampaikan oleh Kementerian Kesehatan RI melalui pernyataan resminya pada 22 Oktober 2024. Bahwa "tidak benar dan tidak ada bukti yang menyatakan pandemi COVID-19 rekayasa."

Sungguh disayangkan, klaim pandemi COVID-19 yang tidak benar itu masih beredar. Padahal, kita semua -- bukan hanya Indonesia, melainkan negara-negara di dunia -- mengalami krisis kesehatan akibat pandemi. Setiap negara berjuang melewati pandemi, berupaya agar penularan virus diredam.

Mari kita renungkan bersama, seperti apa situasi saat pandemi COVID-19 terjadi. Kenangan masa-masa pandemi menjadi catatan sejarah perjalanan bangsa Indonesia dan dunia. Pandemi itu nyata, virus itu ada.

Pasien di rumah sakit membludak, jenazah COVID-19 tak henti berdatangan di pemakaman

Kasus COVID-19 yang melesat di awal pandemi berimbas terhadap kapasitas tempat tidur rumah sakit. Pemberitaan santer mengabarkan, pasien-pasien di rumah sakit membludak. Lorong-lorong dan lobi rumah sakit dipenuhi dengan pasien yang berbaring atau menunggu masuk ruang perawatan.

Curahan hati kerabat, sanak saudara, dan teman yang nyaris setiap hari kita dengar adalah kesulitan mendapatkan ruang rawat inap di rumah sakit. Ada cerita pasien bersama keluarganya mendatangi satu rumah sakit, lalu ke rumah sakit lain, hingga akhirnya yang diperoleh adalah rumah sakit sudah penuh. 

Ramai pula warganet di media sosial yang sulit mendapatkan ruang rawat inap untuk anggota keluarganya yang sakit. Setelah pencarian panjang rumah sakit, tak sedikit dari mereka pulang kembali ke rumah masing-masing, menjalani perawatan mandiri. Sayangnya, ada yang sampai nyawanya tidak terselamatkan.

Bukan hanya di rumah sakit, Tempat Pemakaman Umum (TPU) menerima jenazah COVID-19 yang tak henti berdatangan. Ambulans atau mobil jenazah kerap antre menunggu giliran. Sebelum pemakaman, proses pemulasaran jenazah pun ada yang harus mengantre lama.

Tenaga kesehatan, dokter, petugas ambulans, petugas penggali kubur kelelahan

Jumlah pasien COVID-19 yang membludak tak ayal membuat para tenaga kesehatan dan dokter kelelahan. Foto-foto mereka yang berjuang menangani pasien dengan Alat Pelindung Diri (APD) dan harus bertugas di dalam ruang isolasi sangat mengena di hati. 

Teringat pula foto-foto petugas kesehatan yang menangani tes COVID-19 terlihat beristirahat di bangku. Mereka juga dengan sabar melayani masyarakat yang ingin tes COVID-19, baik secara walk in maupun drive thru. Kalau kita ingat saat kasus COVID-19 lagi melonjak, antrean tes COVID-19 pun panjang.

Petugas ambulans juga tak henti membawa pasien sakit dan jenazah yang meninggal akibat COVID-19. Selain itu, petugas penggali kubur ikut bekerja keras sepanjang waktu, baik pagi, siang, sore dan malam.

Beberapa cerita yang sering kita dengar adalah mereka setiap hari harus menggali liang kubur untuk pemakaman COVID-19. Mau cuaca panas atau hujan, jenazah harus sesegera mungkin dimakamkan.

Bahkan ada pula cerita, selepas hujan semalaman, tanah kuburan di area makam lengket yang berimbas pada mobil jenazah atau mobil ambulans sulit masuk. Berkat bantuan petugas penggali kubur, jenazah akhirnya dapat dimakamkan. 

Sirene ambulans tiap hari terdengar, kabar duka cita silih berganti

Penerapan Work From Home (WFH) membuat kita lebih memerhatikan suasana sekitar tempat tinggal. Yang terus terngiang adalah suara sirene ambulans yang hampir tiap hari terdengar di kejauhan.

Setiap kali mendengar sirene ambulans, terbersit pemikiran, "Apakah yang dibawa pasien atau jenazah?" 

Kabar duka cita turut silih berganti diinformasikan lewat pengeras suara masjid. Sungguh terasa kesedihan, bayangkan yang meninggal itu tetangga sendiri yang rumahnya satu komplek dengan kita. Selang beberapa hari, menyusul tetangga lainnya ada yang meninggal dunia akibat COVID-19.

Di ranah WhatsApp dan media sosial, kita pun menerima informasi duka cita dari kerabat, saudara, dan teman. Beberapa dari kita telah kehilangan orang-orang terkasih.   

Angka kesakitan dan kematian akibat COVID-19 yang sangat memilukan

Pembaruan data kasus COVID-19 merupakan salah satu pemberitaan yang paling menyorot perhatian publik. Pemerintah pada waktu itu secara rutin mengeluarkan pembaruan data kasus yang mencakup kasus positif, kesembuhan, dan kematian.

Muncul rasa yang sangat memilukan tiap kali melihat angka kesakitan dan kematian. Bagi para jurnalis, tiap kali memberitakan data kasus COVID-19 kepada publik sangat berat. Antara penugasan sekaligus terselip rasa sedih dan pilu.

Tak terbayang juga kala mendengar orang-orang yang disayangi, kenalan, teman, rekan, dan kerabat terdiagnosis positif COVID-19. Pikiran dan kecemasan mencuat, bagaimana nanti saat isolasi mandiri atau harus isolasi di rumah sakit.

Kita pun menyaksikan angka kematian yang pada awal-awal pandemi COVID-19 menjadi semakin naik setiap harinya. Melihat angka saja sudah muncul rasa was-was, cemas dan khawatir. Mungkin di antara kita bergumam pelan, "Kapan angka kasus ini berkurang, turun?"

Dan yang perlu diresapi bersama, data kasus COVID-19 bukanlah sekadar angka, hal itu berkaitan dengan nyawa. Teringat pernyataan yang cukup mengena dari Juru Bicara Penanganan COVID-19,  "Jangan lagi ada kematian akibat COVID-19 karena satu nyawa saja berharga."

Masalah pandemi itu tingkat internasional, bukan masalah Indonesia saja

Inilah yang perlu dipahami, status COVID-19 sebagai darurat kesehatan global ditetapkan oleh WHO dan pencabutan tersebut adalah ranah WHO. Penetapan dan pencabutan status darurat kesehatan global melalui proses yang panjang.

Apakah WHO sendiri yang membahas, lalu memutuskan penetapan status darurat? Tentu tidak. WHO mendengarkan berbagai macam laporan dan saran dari para pakar dunia terkait COVID-19 serta melihat kecepatan persebaran penularan virus. Itu semua dibahas dalam rapat.

Sejalan dengan status darurat kesehatan global akhirnya diumumkan WHO, negara-negara ikut bersiap dan waspada terhadap persebaran penyakit. Persiapan dalam penanganan wabah atau pandemi dan langkah yang akan diambil mulai dilakukan di tiap negara.

Sempat ada yang berkomentar, "Kalau begitu, negara-negara diatur WHO dong." Tidak seperti itu memaknainya. WHO memberikan saran atau rekomendasi, selanjutnya setiap negara tetap mempunyai kebijakan masing-masing dalam hal penanganan wabah atau pandemi.

Bayangkan, apa yang terjadi jika Indonesia tidak waspada untuk segera menangani COVID-19? Kita mungkin akan menjadi bahan perbincangan di antara negara-negara lain, terlebih lagi menghadapi penularan virus yang cepat menyebar luas.

Kalimat sederhananya, kita berada di lingkup pergaulan internasional. Perjalanan lalu lintas negara terbuka, baik pesawat maupun kapal. Oleh karena itu, ketika WHO menetapkan status darurat kesehatan global, kita mesti mengambil sikap kewaspadaan, langkah-langkah meredam penularan virus di dalam negeri sendiri dan aturan mengenai kedatangan pelaku perjalanan dari luar negeri. Itu semua agar semua saling terlindungi.

Hampir semua negara melaporkan kasus SARS-CoV-2 

Surveilans SARS-CoV-2 sampai saat ini masih dilaporkan di hampir semua negara, terutama di WHO Region. Jumlah kasus COVID-19 dipantau dan diperbarui, termasuk jenis varian virusnya.

Seperti sifat virus pada umumnya, virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 terus bereplikasi atau bermutasi. Kita bisa melihat persebaran kasus dan jenis varian melalui situs WHO dan Global initiative on sharing all influenza data (GISAID). 

Keberadaan virus COVID-19 ini sekaligus menjawab mengenai keraguan yang ada. Bahwa virus COVID-19 itu ada, pelaporan data kasus dilaporkan dan dilakukan pemantauan terhadap replikasinya.

Menilik situasi-situasi di atas, rasanya tidak ada satupun dari kita yang menginginkan wabah atau pandemi terjadi. Yang penting sekarang dalam masa endemi COVID-19, kita seyogianya tidak lagi sibuk memperdebatkan, "COVID-19 itu rekayasa."

Belajar dari pengalaman pandemi COVID-19, sudah saatnya kita bahu membahu berupaya memperkuat ketahanan kesehatan, membangun data kesehatan yang lebih baik, dan meningkatkan manajemen tata laksana penanganan wabah atau pandemi, serta sinergitas antara pusat dan daerah juga stakeholder lain.

Sehingga, jangan lagi ada kekurangan APD, obat-obatan, alat kesehatan, dan vaksin. Jangan lagi ada perbedaan data kasus antara pusat dan daerah. 

Bagi masyarakat diharapkan bijak menyerap informasi yang tepat dari sumber-sumber akurat dan kredibel. Ini penting dibangun agar tidak gampang termakan hoaks, misinformasi, dan disinformasi.

Kita tidak akan pernah tahu, kapan wabah atau pandemi di masa mendatang muncul. Apabila pandemi lain muncul, setidaknya kita sudah mulai mempersiapkan ketahanan kesehatan lebih kuat di masa sekarang. 

Tentunya, kita semua pasti berharap dan berdoa, "Ya kalau bisa, jangan lagi ada pandemi berikutnya."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun