Mohon tunggu...
Fitria Yuli Dharni
Fitria Yuli Dharni Mohon Tunggu... Mahasiswa - julyy

hii :)

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Dinamika Masyarakat Islam dalam Politik Kebangsaan

1 Agustus 2022   18:36 Diperbarui: 1 Agustus 2022   18:41 1413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam teologi Islam agama dan politik tidak dapat dipisahkan, karena menutur pemahaman Islam, kitab suci al-Qur'an memperlakukan kehidupan manusia sebagai suatu keseluruhan yang organik. Artinya, semua bidang kehidupan manusia harus dibimbing oleh petunjuk-petunjuk yang bersumber dari Al-Qur'an, termasuk di dalamnya adalah kehidupan politik. 

Karena itu kiranya tidak dibesar-besarkan untuk mengatakan bahwa perkembangan politik di Indonesia. Tidak bisa dilepaskan dari perjuangan politik islam di Indonesia.

Dalam perjalanannya, kiprah politik Islam di panggung kekuasaan Indonesia banyak mengalami pasang surut. Masa awal orde baru sampai akhir tahun 1980-an bisa dikatakan bahwa politik Islam di Indonesia banyak berada di luar arena kekuasaan. 

Politik Islam di Indonesia hampir mendekati ke arah cita-cita yang diharapkan dan cita-cita yang diimpikan. Hampir setiap sudut panggung kekuasaan politik di Indonesia sudah ada di dalam genggamannya.

Dalam sejarah Indonesia, Islam merupakan suatu kekuatan yang sangat berperan dalam perlawanan menentang penjajah. Islam pada masa itu merupakan salah satu garda terdepan dalam mengusir penjajah. Dalam rangka mengusir penjajah tersebut diperlukan alat organisasi dalam penyatu aspirasi dan tujuan. 

Maka tercatatlah berdirinya Sarekat Islam, organisasi pertama kekuatan politik yang anggotanya terbanyak di antara organisasi-organisasi pergerakkan lainnya.

Selanjutnya pasca kemerdekaan Indonesia, keluarlah maklumat wakil presiden no.X tahun 1945 yang memperbolehkan berdirinya partai-partai politik. Umat Islam merespon maklumat tersebut dengan mendirikan partai politik Masyumi.

 Berdirinya Masyumi ini dimaksudkan sebagai satu-satunya partai politik yang akan memperjuangkan aspirasi dan nasib umat Islam Indonesia. Partai politik ini didukung oleh dua ormas Islam yang terbesar, yaitu NU dan Muhammadiyah.

Politik islam dalam rangkaian peraturan politik di masa-masa awal kemerdekaan sampai masa orde baru lebih banyak berorientasi pada masalah ideologi negara. Hal ini menyebabkan politik Islam cenderung dianggap mengganggu stabilitas politik, dan karena itu menghambat pembangunan. Konsekuensinya adalah partai Masyumi di bubarkan dan partai-partai Islam tidak banyak mendapatkan dukungan. 

Dengan melemahnya kekuatan politik umat Islam muncul para pembaharu muda yang menawarkan sebuah gerakan pembaharuan Islam dari dimensi ritual dan Kemasyarakatan.

Dinamika politik kerap kali menghadirkan pergulatan yang cukup menguras energi baik para politisi yang terlibat langsung maupuk pihak-pihak yang tidak secara langsung terlibat di dalamnya. Tidak hanyak masyarakat secara personal, institusi masyarakat yang bergerak diluar politik juga terkena dampaknya. 

Menjelang pemilihan umum, persaingan antar partai politik menarik simpati dan dukungan suara semakin kuat. Janji-janji politik melalui penyampaian visi dan misi pembangunan negara ditawarkan secara transparan. Ideologi partai juga  terpampang dalam platform yang menunjukkan orientasi politik dan corak massa yang akan diminta sukungan suaranya.

Tampilan wajah politik ini merupakan adaptasi dari pengalaman sejarah politik yang pernah dialami, dimana kiprah politik Muhammadiyah pernah berada di titik krusial pada masa demokrasi terpimpin. Penyebab utamanya adalah posisi Muhammadiyah sebagai anggota istimewa partai Masyumi, yang saat itu kiprah politiknya sedang mengalami krisis, dan pada tahun 1960 diperintahkan untuk membubarkan diri. 

Peran politik muhammadiyah menjadi termarginalkan dan akibatnya, kesulitan dalam memainkan peran pilitik secara proporsional.

Politik Islam Indonesia disini dalam makna yang luas, tapi jelas. Politik Islam Indonesia diartikan dalam bagaimana Islam dipraktikkan utuh oleh umat Islam di Berbagai aspek kehidupan dalam komitmen ke Indonesiaan untuk tujuan kesejahteraan, keadilan, dan berperadaban rakyat bangsa. 

Identitas hakiki politik Islam Indonesia adalah harmonisasi gerakan umat islam Indonesia di bidang ekonomi, budaya, demokrasi dan bergaining diplomasi dengan masyarakat global untuk mewujudkan bangsa Indonesia yang maju dan berdaya. 

Hubungan Islam dan politik di Indonesia senantiasa berkembang dari waktu ke waktu, umat islam sebagai penduduk mayoritas merasa perlu untuk berpatisipasi aktif di bidang politik. Aspirasi muslim terhadap politik memiliki sejarah dan jejak perkembangan yang panjang dalam pentas perpolitikan Indonesia, dari masa kerajaan Islam hingga era Reformasi.

  • Geneologi Perkembangan Politik Islam di Indonesia 

Relasi Islam dan politik di Indonesia senantiasa berkembang dari waktu ke waktu. Umat Islam sebagai penduduk mayoritas merasa perlu untuk berpartisipasi aktif di bidang politik. Aspirasi muslim terhadap politik memiliki sejarah dan jejak perkembangan yang panjang dalam pentas perpolitikan Indonesia, dari masa kerajaan Islam hingga Era Reformasi.

  • Masa Pra-Kemerdekaan 

Kedatangan Belanda di akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17 menjadi babak pembuka penderitaan bangsa Indonesia. Beralihnya motif Belanda dari kepentingan ekonomi menjadi kolonialisasi di abad ke-17 sampai abad ke-18, memunculkan berbagai reaksi dari penduduk pribumi. 

Penduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islam merupakan kenyataan yang harus diterima oleh Belanda. Berbagai perlawanan seperti perang Paderi di Minangkabau (1821-1827), perang Diponegoro yang terjadi di Jawa (1825-1830), perang Aceh (1837-1903) dan perang lainnya tidak terlepas dari sendi Islam.

      Pada tahun 1905, terdapat gerakan pembaharuan agama yang diprakarsai oleh komunitas Arab di batavia yaitu Jam'iyyat Khair. Perserikatan ini mendirikan sekolah yang mendatangkan gurunya dari kalangan Islam Modernis yang bernama Syeikh Ahmad Surkati, menyusul kemudian gerakan dari al-Irsyad yang dibentuk oleh Surkati pada tahun 1915. Gerakan ini mendirikan sekolah yang sebagian besar muridnya keturunan Arab dan sebagaian lainnya penduduk pribumi.

Serekat Islam berkembang menjadi organisasi politik Indonesia yang menuntut kemerdekaan penuh atas Indonesia. Organisasi ini dipimpin oleh H.O.S Tjokroaminoto yang sebelumnya dipegang oleh samanhudi atas dorongan tirtoadisurjo. Selanjutnya, Muhammadiyah sebagai kelompok islam reformasi yang diprakarsai oleh KH Ahmad Dahlan dengan cepat gagasan-gagasannya diterima dan menjadi populer. 

Pengalaman KH Ahmad Dahlan yang pernah masuk dalam keorganisasian Budi Utomo dan pengamatannya terhadap organisasi Islam lainnya seperti Serekat Islam dan jam'iyyat Khair menjadi latar belakang terbentuknya Organisasi Muhammadiyah. 

Organisasi yang dibentuknya tersebut diwujudkan untuk masyarakat pribumi yang mengedepankan gerakan modernisme Islam. Pada tahun 1920, Organisasi Muhammadiyah telah tersebar di berbagai daerah di Indonesia, diantaranya Minangkabau, Pekalongan Surabaya, Bengkulu, Banjarmasin, Amuntai, Aceh dan Makassar.

Seiring dengan perkembangan pergerakan Muslim, dan pada tahun 1926 dengan ditumpasnya pemberontakan PKI dan ketidakaktifan Serekat Islam, Soekarno dan Algemeene mendirikan sebuah partai politi baru. Politik tersebut  bernama Perserikatan Nasional Indonesia yang menuntut kemerdekaan Kepulauan Indonesia dengan cara nonkooperatif dan dengan organisasi massa. 

Dengan adanya partai PNI, menunjukkan bahwa terdapat dua ideologi nasionalisme di Indonesia. Partai PNI mewakili nasionalis sekuler dan SI mewakili nasionalis Islam.

  • Masa Orde Lama 

Pada akhir masa penjajahan Jepang, masyarakat kelompok elit modern Indonesia terbagi dalam beberapa kelompok yaitu kelompok Islam, Islam netral yang biasa dikenal dengan kelompok nasionalis, komunis, dan kristen. Masing-masing kelompok ini mengusung ideologinya sendiri-sendiri. 

Namun dalam perjuangan ideologi negara, faksi-faksi ini bisa disederhanakan menjadi dua kelompok yaitu kelompok yang menginginkan Indonesia berdasarkan agama yaitu Islam dan kelompok yang menginginkan Indonesai berdasarkan ideologi non-agama yaitu kelompok nasionalis.

Perbedaan adanya dua kelompok tentang dasar negara semakin nampak pada perumusan sila pertama. Meskipun para pendiri bangsa ini telah menerima pancasila sebagai dasar negara tampak ketika bunyi sila pertama dari Pancasila "Ketuhanan Yang Maha Esa" dipersoalkan oleh kelompok Islam. 

Menurut kelompok Islam pencantuman sila pertama tidaklah jelas, maka perlu ditambah dengan kata-kata "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya". Tentu tambahan tujuh kata ini kemudian menimbulkan perdebatan yang alot antara kelompok nasionalis dengan kelompok Islam. 

Piagam Jakarta ini sempat disetujui utuk dimasukkan ke dalam UUD 1945, namun ditentang oleh kaum nasionalis dan akhirnya piagam tersebut tidak dicantumkan demi kesatuan bangsa Indonesia.

Peristiwa tersebut menjadikan sejumlah kelompok Islam merasa kalah dan dikhianati. Maka muncullah berbagai pemberontakan yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Adanya pemberontakan-pemberontakan tersebut tidak mengganggu hubungan baik antara Islam dan Negara. 

Namun, kesepakatan yang terjadi pada 18 Agustus 1945 belum matang. Sehingga, persoalan negara sebagai dasar ideologi mencuat kembali selama masa kampanye pemilu 1955 dan dalam perdebatan Majelis Konstitunsi. 6 Dalam sidangnya Majelis Konstituante, tugas-tugasnya dalam menyusun konstitusi sebenarnya sudah diselesaikan 90%, diantaranya HAM, bentuk pemerintahan dan prinsip-prinsip kebijakan negara. 

Namun, permasalahan dasar negara yang berideologikan Islam atau bukan, tidak menemukan ujung kesepakatan. Hingga pada 2 Juni 1959 perdebatan tersebut menemukan keputusannya yang mana kedua kelompok tersebut sepakat bahwa Pancasila dijadikan sebagai dasar negara.

Di masa berikutnya, pada masa demokrasi terpimpin, Soekarno memiliki porsi yang besar dalam memimpin bangsa. Hubungan Islam dan negara mulai memburuk. Hal ini ditandai dengan otoritas Soekarno pada tahun 1960 yang memberinya otoritas untuk melarang dan membubarkan partai-partai yang menentang negara. 

Politik Islam semakin melemah dengan dibubarkannya PSI dan Masyumi pada 17 Agustus 1960, hal ini dikarenakan PSI dan Masyumi tidak mengeksekusi anggota yang memberontak secara tegas, sehingga dianggap adanya keterlibatan para pemimpin Masyumi dengan pemberontakan daerah PRRI atau PERMESTA.

Keputusan dibubarkannya Masyumi dan PSI dari partai resmi bangsa secara simbolik menunjukkan bahwa nasionalis Islam berhasil dikalahkan. Namun, di antara kedua partai tersebut dan partai-partai lainnya yang mulai memudar, NU justru lebih dekat dengan Soekarno. 

Hal ini disebabkan karena dalam banyak hal, NU dan PNI memiliki banyak kesamaan ketimbang dengan Masyumi. Kedua partai ini mempunyai basis yang kuat di Jawa dan mencakup nilai-nilai Jawa, serta lebih menghargai gaya kepemimpinan tradisionalis dari pada cita-cita demokrasi Barat.

  • Masa Orde Baru 

Berbeda dengan orde lama, orde baru menggunakan cara berpikir yang berorientasi pada program. Belajar dari Orde Lama, pemerintahan terlalu sibuk dengan orientasi ideologi dalam hal pembangunan, sehingga menyebabkan kehancuran ekonomi karena perdebatan ideologi yang sengit. 

Oleh karena itu untuk memperbaiki pembangunan ekonomi, industrialisasi atau pemenuhan kebutuhan dasar rakyat masa depan Indonesia harus bebas dari politik yang didasarkan kepada ideologi.

Hal inilah yang menjadikan umat Islam merasa kecewa di masa Orde Baru. Pada awalnya pemimpin-pemimpin Muslim mengira bahwa dengan bergantinya Orde Lama dapat memberikan kesempatan untuk mengembalikan kekuatan politik Islam dan mulai menyusun rencana agar syari'at Islam masuk ke edalam sistem kenegaraan

Sebagai "Balas Budi" oemerintah Orde Baru atas partisipasi umat Islam dalam perjuangan melawan komunis, partai Muslimin Indonesia diizinkan oleh Soeharto berdasarkan keputusan Presiden, No. 70, pada 20 Februari 1968 yang menyatakan bahwa permusi merupakan sebuah persatuan organisasi sosial Islam yang tidak tergabung dalam partai Politik. 

Namun, partai ini dipenuhi dengan konflik yang terjadi di dalam tubuh Permusi sendiri. 

Keputusan pemerintah, bagi sebagian kelompok seperti Muhammdiyah dan keluarga Bulan Bintang justru mengecewakan. Keadaan tersebut terus berlanjut sampai menjelang pelaksanaan pemilihan umum pertama kali di era Orde Baru.

 Pemilu pertama tersebut yang dilaksanakan pada 1971 diikuti oleh 3 arus kekuatan politik. 

Kekuatan politik Islam diwakili oleh Parmusi, NU, PSII dan Perti, kemudian kekuatan nasionalis dan Kristen diwakili oleh PNI, IPKI, Parkindo, Partai Murba dan Partai Katolik, serta kekuatan nasionalis-pemerintah diwakili oleh Golkar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun