Tiana POV
Kentang goreng di hadapanku sudah layu. Tak panas lagi. Sebagian jumlahnya pun sudah berkurang. Cappucino di mejaku sudah tandas menyisakan es batu yang mulai mencair. Kulihat orang yang berada tepat di seberang mejaku. Perempuan berjilbab hijau telah kedatangan tamunya. Seorang perempuan belia yang cantik. Sepertinya seorang mahasiswa. Tapi berbeda denganku. Kursi yang berada di depanku masih kosong. Aku masih menunggu tamuku. Belum ada kabar.
Aku ambil ponselku dari saku dan mulai meneleponnya. Tapi tidak terhubung. Ponselnya mati. Berulang kali aku mencoba telepon tapi tetap sama. Kukirim pesan berharap dia segera membukanya.
Kulirik jam tanganku. Pukul tiga sore. Setengah jam berlalu dari waktu yang kami sepakati. Dia terlambat datang.
Ponselku berdering setengah jam kemudian. Sebuah pesan masuk dari Mas Arya,
Maaf, lupa mengabari. Baterai ponselku habis.
Ada kerjaan yang tidak bisa aku tinggalkan.
Kamu pulang duluan ya.. Maaf.
Kekhawatiranku berubah menjadi kecewa. Aku beranjak dari tempat duduk. Pergi ke kasir lalu keluar dari cafe. Pulang. Kulihat awan hitam berarak memenuhi langit. Dan perlahan gerimis turun mengiringi laju motorku di jalanan Soewoko.
****
Arya POVÂ
Komputer di meja kerja kunyalakan kembali. Pulang tepat waktu ternyata hanya menjadi sebuah ekspektasi. Karena realitanya aku harus mengedit bahan presentasi untuk rapat dengan klien besok pagi. Ada beberapa permintaan tambahan dari klien terkait desain yang aku buat.
Aku mengambil ponsel dari dalam tas. Ponselku mati. Charger ponsel tidak ada di dalam tas. Artinya aku lupa bawa charger ponsel. Tapi aku membutuhkan charger sekarang, aku harus menghubungi Tiana tunanganku. Pasti dia sudah menunggu.
Aku keluar dari kubikel. Sebagian kubikel sudah kosong. Hanya ada lima orang yang masih berkutat dengan komputernya.
Aku menghampiri kubikel tak jauh dari tempatku. Seorang perempuan berjilbab ungu muncul dari balik kubikelnya. Namanya Rani. Seorang pegawai yang baru enam bulan masuk di kantor ini. Seorang market research. Aku sering diskusi bersamanya terkait desain produk.
"Ada apa, Mas Arya?" Tanyanya saat melihatku menghampirinya.
"Kamu bawa charger ponsel gak? Aku boleh pinjam?"
"Boleh. Sebentar ya."
Kemudian Rani menarik laci di depannya dan mengambil charger putih. Lalu diserahkannya padaku.
"Terima kasih. Aku bawa dulu ya.."
"Iya bawa saja mas. Baterai ponselku masih penuh kok." Ujarnya sambil tersenyum menampilkan kedua lesung pipinya.
Aku kembali ke tempat kerjaku dan langsung mengisi daya baterai ponsel. Sambil menunggu terisi, aku mulai memeriksa file yang akan aku revisi. Karena keasyikan dengan desain aku lupa mnegabari Tiana. Cepat-cepat kunyalakan ponselku. Ada lima panggilan tak terjawab dari Tiana. Dan dia meninggalkan satu pesan.Â
Kenapa belum datang? Kamu baik-baik saja kan?
Hanya itu pesannya.
Buru-buru aku membalas pesan chatnya. Aku sunguh menyesal lupa mengabarinya.
***
Tiana POVÂ
"Hai, sudah lama menunggu? Yang lain belum datang?"
Aku mengalihkan pandanganku dari buku menu ke sumber suara. Revan menarik kursi di depanku dan duduk di sana. Senyumnya mengembang. Sepotong senyum tanpa deretan gigi. Beda dengan senyum Mas Arya. Senyum Mas Arya selalu menampilkan deretan gigi-giginya yang putih. Senyum sumringah.
"Tidak. Baru lima menit yang lalu. Yang lain mungkin masih di jalan." Jawabku sambil kembali melihat-lihat buku menu.
"Aku jus melon ya." Kata Revan tanpa melihat buku menu di hadapannya.
Aku segera memanggil pelayanan. Memesan cokelat panas dan jus melon. Revan lebih memilih jus melon karena baginya buah lebih bermanfaat untuk tubuh. Aku ingat, Mas Arya lebih suka kopi dan jarang sekali memesan jus. Pernah suatu kali pesan jus buah itu pun karena lambungnya sedang bermasalah, dokter menyarankan untuk tidak minum kopi dulu. Revan mengembalikan konsentrasiku dengan bertanya bagaimana konsep acara untuk Minggu besok. Dan kemudian dia mengeluarkan laptop dari dalam tasnya. Revan adalah laki-laki yang aku kenal melalui acara literasi yang diadakan oleh komunitasnya di Alun-alun Lamongan empat bulan yang lalu. Waktu itu aku hadir untuk mewakili temanku karena berhalangan hadir. Dari sana awal aku berkenalan dengan Revan dan teman-temannya. Sejak itu aku bergabung di komunitasnya. Komunitas Pecinta Literasi. Hari Minggu besok kami akan mengadakan sebuah acara untuk memperingati Hari Dongeng Nasional. Dan di sinilah aku sekarang bersama Revan membahas acara tersebut dengan teman-teman komunitasnya.
Dengan Revan seolah aku menemukan duniaku. Revan suka menulis, aku juga. Revan suka menghabiskan waktu untuk membaca buku, aku juga seperti itu. Sedangkan Mas Arya lebih suka mengotak-atik corel draw di layar komputernya. Terkadang saat lenggang suka dihabiskan untuk menggambar. Menggambar apapun. Pernah dia tertawa saat melihat aku menggambar pohon. Katanya lebih mirip tiang listrik karena hanya tegak lurus. Tapi setelah itu dia mengajari aku menggambar macam-macam. Aku yang masuk ke dalam dunianya.
"Tiana... tiana..!!"
Revan berulang kali memanggil namaku. Ternyata aku asyik melamun sendiri. Aku hanya bilang maaf. Aku tidak nyaman hanya duduk berdua dengan Revan meskipun cafe sedang ramai pengunjung tapi aku tahu dari teman-teman komunitasnya bahwa Revan diam-diam menyukaiku. Dan itu membuatku semakin tak nyaman karena perlahan sepertinya aku mulai mengagumi Revan.Â
Aku memandang ke arah ke jendela cafe. Di bawah tampak jalanan penuh kendaraan lalu lalang. Cafe dua lantai ini letaknya dekat dengan pertigaan jadi tidak heran banyak kendaraan melintas dari tiga arah berlawanan. Di seberang cafe ini tampak berderet ibu-ibu penjual nasi Boran. Aku menelan ludah saat kulihat seorang ibu melayani pembelinya. Tampak bumbu boran yang begitu menggoda. Ah, aku jadi kembali teringat Mas Arya. Sudah beberapa hari ini pesan dan panggilannya kuabaikan. Aku masih marah karena Mas Arya selalu sibuk dengan pekerjaannya padahal empat bulan lagi kami akan menikah.
***
Arya POVÂ
Rani tertawa keras. Menertawakan cerita konyolku yang kemarin salah membawa remote AC pulang ke rumah. Mengira itu adalah ponselku. Rani masih saja tertawa, lesung pipinya terlihat semakin tegas. Menambah kesan cantiknya. Tiana tidak pernah tertawa seperti ini. Dia selalu menutupi mulutnya saat tertawa. Rani wanita enerjik, Tiana sangat lembut dan kalem.
Setelah capek menertawakan kekonyolanku, Rani memesan segelas minuman bersoda. Dia sangat suka minuman ringan bersoda. Beda dengan Tiana, dia tidak suka minuman bersoda karena menurutnya tidak baik untuk kesehatan. Terlalu seringnya aku dan Rani dipertemukan dalam satu proyek, membuat aku mengenalnya lebih jauh. Membuat hubunganku dengan Rani semakin dekat.
Di hadapanku, Rani bercerita panjang lebar. Kadang disertai derai tawa. Tidak peduli kalau Pujasera telah banyak pegawai yang mulai makan siang di sini. Tidak dengan Tiana, setiap bertemu dia suka menjadi pendengarku. Dia akan menanggapi ceritaku dengan antusias. Dibiarkannya aku bercerita apapun tanpa dia ingin menyelanya. Tiana pendengar yang setia atau memang aku yang tidak memberi kesempatan untuk berbicara? Tiana seorang pendongeng, seharusnya aku tahu dia juga bisa bercerita seperti Rani. Tapi selama ini aku yang menguasai panggung saat kita bertemu.Â
***
Tiana POVÂ
Nasi Boran di seberang cafe menggugah seleraku. Mas Arya sering mengajakku makan di sana. Makan nasi Boran khas kota Lamongan. Dia bercerita panjang lebar tentang nasi Boran. Disebut nasi Boran karena ditempatkan di wadah yang di sebut Boranan. Tempat nasi yang terbuat dari anyaman bambu dan digendong dengan selendang pada punggung. Mas Arya suka sekali dengan pletuk yang terbuat dari nasi yang dikeringkan atau kacang. Dengan ditambah ikan sili yang kadang tidak pasti ada di penjual karena termasuk ikan musiman. Sedangkan aku suka sekali dengan empuknya. Tepung terigu yang dibumbui itu rasanya pas sekali di lidahku.Â
Aku merindukan Mas Arya. Kuambil ponselku dan mulai membaca satu persatu pesan Mas Arya yang aku abaikan. Aku ingin mengirim pesan untuk minta maaf karena sifat kenak-kanakanku selama ini. Tapi sebuah pesan dari Mas Arya muncul mendahului pesanku.
***
Arya POVÂ
Aku biarkan Rani menyelesaikan ceritanya. Aku menanggapi sekadarnya. Pikiranku tertumpu pada Tiana. Sudah berhari-hari kami tidak saling menelepon. Beberapa kali pesanku tidak dibalasnya. Aku tahu Tiana marah karena akhir-akhir ini aku sering lembur kerja. Sering mengabaikan teleponnya. Dia pasti bingung dan repot bagaimana menyiapkan pernikahan kami nanti. Tapi aku malah sibuk dengan pekerjaanku. Sore ini, aku harus memperbaiki semuanya.
Aku kirim pesan ke Tiana.
Sepulang kerja makan nasi Boran di belakang gedung DPR lama yuk... Sambil membahas resepsi pernikahan kita.
Dan belum semenit berlalu sebuah pesan masuk. Dari Tiana,
Oke. Kita bertemu di sana ya. Aku menunggu.
***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI