Dengan Revan seolah aku menemukan duniaku. Revan suka menulis, aku juga. Revan suka menghabiskan waktu untuk membaca buku, aku juga seperti itu. Sedangkan Mas Arya lebih suka mengotak-atik corel draw di layar komputernya. Terkadang saat lenggang suka dihabiskan untuk menggambar. Menggambar apapun. Pernah dia tertawa saat melihat aku menggambar pohon. Katanya lebih mirip tiang listrik karena hanya tegak lurus. Tapi setelah itu dia mengajari aku menggambar macam-macam. Aku yang masuk ke dalam dunianya.
"Tiana... tiana..!!"
Revan berulang kali memanggil namaku. Ternyata aku asyik melamun sendiri. Aku hanya bilang maaf. Aku tidak nyaman hanya duduk berdua dengan Revan meskipun cafe sedang ramai pengunjung tapi aku tahu dari teman-teman komunitasnya bahwa Revan diam-diam menyukaiku. Dan itu membuatku semakin tak nyaman karena perlahan sepertinya aku mulai mengagumi Revan.Â
Aku memandang ke arah ke jendela cafe. Di bawah tampak jalanan penuh kendaraan lalu lalang. Cafe dua lantai ini letaknya dekat dengan pertigaan jadi tidak heran banyak kendaraan melintas dari tiga arah berlawanan. Di seberang cafe ini tampak berderet ibu-ibu penjual nasi Boran. Aku menelan ludah saat kulihat seorang ibu melayani pembelinya. Tampak bumbu boran yang begitu menggoda. Ah, aku jadi kembali teringat Mas Arya. Sudah beberapa hari ini pesan dan panggilannya kuabaikan. Aku masih marah karena Mas Arya selalu sibuk dengan pekerjaannya padahal empat bulan lagi kami akan menikah.
***
Arya POVÂ
Rani tertawa keras. Menertawakan cerita konyolku yang kemarin salah membawa remote AC pulang ke rumah. Mengira itu adalah ponselku. Rani masih saja tertawa, lesung pipinya terlihat semakin tegas. Menambah kesan cantiknya. Tiana tidak pernah tertawa seperti ini. Dia selalu menutupi mulutnya saat tertawa. Rani wanita enerjik, Tiana sangat lembut dan kalem.
Setelah capek menertawakan kekonyolanku, Rani memesan segelas minuman bersoda. Dia sangat suka minuman ringan bersoda. Beda dengan Tiana, dia tidak suka minuman bersoda karena menurutnya tidak baik untuk kesehatan. Terlalu seringnya aku dan Rani dipertemukan dalam satu proyek, membuat aku mengenalnya lebih jauh. Membuat hubunganku dengan Rani semakin dekat.
Di hadapanku, Rani bercerita panjang lebar. Kadang disertai derai tawa. Tidak peduli kalau Pujasera telah banyak pegawai yang mulai makan siang di sini. Tidak dengan Tiana, setiap bertemu dia suka menjadi pendengarku. Dia akan menanggapi ceritaku dengan antusias. Dibiarkannya aku bercerita apapun tanpa dia ingin menyelanya. Tiana pendengar yang setia atau memang aku yang tidak memberi kesempatan untuk berbicara? Tiana seorang pendongeng, seharusnya aku tahu dia juga bisa bercerita seperti Rani. Tapi selama ini aku yang menguasai panggung saat kita bertemu.Â
***
Tiana POVÂ