Nasi Boran di seberang cafe menggugah seleraku. Mas Arya sering mengajakku makan di sana. Makan nasi Boran khas kota Lamongan. Dia bercerita panjang lebar tentang nasi Boran. Disebut nasi Boran karena ditempatkan di wadah yang di sebut Boranan. Tempat nasi yang terbuat dari anyaman bambu dan digendong dengan selendang pada punggung. Mas Arya suka sekali dengan pletuk yang terbuat dari nasi yang dikeringkan atau kacang. Dengan ditambah ikan sili yang kadang tidak pasti ada di penjual karena termasuk ikan musiman. Sedangkan aku suka sekali dengan empuknya. Tepung terigu yang dibumbui itu rasanya pas sekali di lidahku.Â
Aku merindukan Mas Arya. Kuambil ponselku dan mulai membaca satu persatu pesan Mas Arya yang aku abaikan. Aku ingin mengirim pesan untuk minta maaf karena sifat kenak-kanakanku selama ini. Tapi sebuah pesan dari Mas Arya muncul mendahului pesanku.
***
Arya POVÂ
Aku biarkan Rani menyelesaikan ceritanya. Aku menanggapi sekadarnya. Pikiranku tertumpu pada Tiana. Sudah berhari-hari kami tidak saling menelepon. Beberapa kali pesanku tidak dibalasnya. Aku tahu Tiana marah karena akhir-akhir ini aku sering lembur kerja. Sering mengabaikan teleponnya. Dia pasti bingung dan repot bagaimana menyiapkan pernikahan kami nanti. Tapi aku malah sibuk dengan pekerjaanku. Sore ini, aku harus memperbaiki semuanya.
Aku kirim pesan ke Tiana.
Sepulang kerja makan nasi Boran di belakang gedung DPR lama yuk... Sambil membahas resepsi pernikahan kita.
Dan belum semenit berlalu sebuah pesan masuk. Dari Tiana,
Oke. Kita bertemu di sana ya. Aku menunggu.
***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI