Amanda menggigit bibirnya, seakan ragu untuk menjawab. "Aku nggak mau bikin kamu marah, tapi... mereka bilang kamu terlalu dominan. Mereka merasa kamu selalu ingin menjadi pusat perhatian."
Dina merasa dadanya sesak. Itu tuduhan yang tidak pernah ia bayangkan akan keluar dari mulut Rafika atau Ruly. "Aku nggak pernah bermaksud begitu, Amanda. Aku cuma ingin semua berjalan dengan baik."
Amanda mengangguk pelan, lalu meletakkan tangannya di pundak Dina. "Aku tahu, Din. Dan aku yakin mereka juga tahu. Tapi mungkin mereka nggak sadar bagaimana cara mereka menyampaikan itu bisa melukai kamu."
Awal dari Perpecahan
Beberapa hari setelah percakapan itu, Dina mulai merasa semakin terasing. Rafika sering pergi tanpa memberitahunya, sementara Ruly lebih memilih duduk bersama Amanda di perpustakaan ketimbang berbincang dengannya seperti dulu.
Suatu sore, Dina memutuskan untuk mengonfrontasi Rafika. Mereka bertemu di kafe kampus, tempat favorit mereka dulu. Tapi suasana yang biasanya hangat kini terasa dingin.
"Fik, gue mau tanya," Dina memulai dengan suara pelan. "Apa gue pernah salah sama lo?"
Rafika mengangkat alis, terlihat bingung. "Kenapa lo tiba-tiba nanya gitu?"
"Karena gue merasa lo menjauh. Lo dan Ruly. Apa gue ngelakuin sesuatu yang bikin lo nggak nyaman?"
Rafika terdiam sejenak sebelum menjawab. "Din, gue cuma merasa lo kadang terlalu ngatur. Gue tahu niat lo baik, tapi kadang gue dan Ruly merasa kayak pendapat kita nggak dihargai."
Dina tercekat. Kata-kata Rafika terasa seperti tamparan. Tapi sebelum dia sempat membela diri, Rafika menambahkan, "Amanda yang bilang ini sama gue. Dia bilang dia juga ngerasa lo terlalu dominan. Gue jadi mikir, mungkin kita semua merasakan hal yang sama."