"Setiap istri harus bisa bekerja. Soalnya punya suami itu, kalau gak dipanggil Tuhan, ya diambil pelakor."
Begitu kira-kira statement yang pernah lewat di timeline sosial media saya. Entah itu di Instagram atau Twitter.
Intinya statement itu memotivasi dengan cara fear mongering (menakut-nakuti) agar para istri di luar sana tetap punya pekerjaan atau penghasilan sendiri, alih-alih hanya mengandalkan jatah nafkah dari suami.
Sebab, menurut statement itu, suami bisa saja tiba-tiba dipanggil Yang Mahakuasa (meninggal dunia), atau diambil pelakor (perebut laki orang). Waduh!
Amit-amit, tapi kalau beneran terjadi, mau tidak mau para istri lah yang nantinya harus mengambil peran pencari nafkah demi menghidupi dirinya sendiri dan anak-anaknya.
Tapi, apa semua istri harus bekerja dan berpenghasilan sementara di beberapa kasus mereka juga dibebankan oleh urusan domestik rumah tangga?
(Note: tulisan ini pernah terbit di blog pribadi penulis www.matchadreamy.com pada Desember 2022.)
Working wife vs full time wife
Working wife adalah istri-istri yang tetap bekerja, baik di kantor sebagai karyawan swasta, freelancer, maupun yang memiliki bisnis sendiri.
By the way, saya sengaja menyebut kata "wife" daripada "mom", sebab tidak semua perempuan yang sudah menikah memiliki atau mau mempunyai anak.
Sedangkan full time wife adalah istri yang tidak memiliki pekerjaan atau penghasilan sendiri, yang mana mereka mengabdikan diri menjalankan tugas sepenuhnya sebagai istri dan atau ibu rumah tangga.