Mohon tunggu...
Fitri Apriyani
Fitri Apriyani Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Blogger dan content writer

Blogger di Matchadreamy.com, yang suka membaca dan menulis | IG : @fiapriyani

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Mengapa Programmer Digaji Tinggi?

10 Mei 2023   09:00 Diperbarui: 10 Mei 2023   10:37 401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tech winter is coming. Beberapa startup di Indonesia belakangan ini mulai melakukan layoff alias PHK kepada sejumlah karyawannya dengan berbagai alasan. 

Terutama, yang paling santer, adalah alasan efisiensi atau merampingkan struktur perusahaan yang ujung-ujungnya menghemat cost.

Fenomena layoff ini terjadi pada startup di berbagai bidang, mulai dari yang berbasis pendidikan seperti Zenius dan Ruangguru, e-commerce seperti Shopee yang waktu itu sempat heboh, digital payment seperti LinkAja, hingga Mamikos, Sirclo, dan lainnya.

Tingginya gaji programmer jadi masalah?

Hal menarik dari fenomena startup buble ini adalah saat beberapa hari yang lalu ada seorang netizen Twitter yang nge-tweet menanggapi kondisi tersebut, yang intinya, kurang lebih, dia berpendapat bahwa penyebab fenomena tech winter tersebut salah satunya karena gaji programmer Indonesia saat ini kurang rasional, karena dianggap terlalu tinggi.

Sontak cuitannya menimbulkan beragam reaksi pro dan kontra. 

Di antara yang pro menyebutkan bahwa kebiasaan startup yang menyabotase talent yang ahli di bidang IT, sebagian disebut programmer, dengan memberikan gaji fantastis, membuat rate gaji para "Nam Do-san" di dunia nyata ini menjadi sangat besar dibandingkan posisi pekerjaan lain di level yang sama.

Sederhananya, gara-gara banyak startup lazim memberikan gaji yang tinggi, otomatis programmer ini hanya mau digaji dengan rate yang sama saat di-hire di perusahaan-perusahaan selain startup, yang notabene mungkin tidak memiliki budget yang cukup untuk memenuhi ekspektasi gaji mereka.

Tapi tidak sedikit juga yang kontra dengan mempertanyakan standar apa yang dipakai untuk menentukan suatu gaji bisa dibilang rasional. 

Ada juga yang berpendapat bahwa wajar jika gaji programmer relatif besar karena sifat pekerjaan yang rumit, dan lain sebagainya.

Gajinya memang bisa tinggi

Oke, mari tinggalkan pendapat netizen tersebut yang bilang kalau gaji programmer tidak rasional, sebab tolok ukurnya masih ambigu. 

Namun, mari sepakat bahwa gaji programmer nyatanya memang lebih tinggi daripada bidang pekerjaan lain di posisi yang sama dan masa kerja yang sama.

Dikutip detikcom dari situs Glassdoor, estimasi gaji rata-rata programmer di Indonesia mencapai Rp6,3 juta per bulan. 

Namun, ada juga programmer yang bisa menerima gaji hingga Rp17 juta per bulan tergantung level dan faktor lainnya. Cukup bikin ngiri tetangga sebelah, kan?

Tapi, apa sebenarnya yang menyebabkan fenomena tersebut? Mari kita bahas.

Masih ingat teori ekonomi tentang supply dan demand? Intinya teori ini mengungkapkan bahwa semakin tinggi demand (permintaan) akan suatu barang, maka semakin tinggi pula nilai atau harganya. 

Sebaliknya, semakin tinggi supply (persediaan) suatu barang, maka semakin rendah harganya.

Begitu pula dalam dunia kerja. Di era digital saat ini, di mana setiap lini kehidupan sudah serba go digital, menyebabkan kebutuhan atas keahlian di bidang teknologi digital semakin tinggi.

Artinya, demand terhadap tenaga kerja di bidang teknologi (programmer, engineer, apa saja sebutannya) semakin tinggi. Sedangkan ketersediaan mereka di dunia kerja masih sangat kurang. 

Maka, terciptalah kondisi di mana demand tinggi tetapi supply rendah, yang mana secara otomatis akan meningkatkan nilai (gaji) para programmer di dunia kerja.

Alasan lain, pekerja di bidang IT dituntut memiliki skill yang harus selalu up to date seiring perkembangan teknologi yang terus berkembang dari waktu ke waktu. 

Selain itu, bidang pekerjaan ini disebut-sebut cukup sulit, rumit, dan bisa membuat rambut gampang beruban, jadi wajar jika gajinya pun besar.

Namun yang mungkin menimbulkan tatapan iri pekerja lain, para netizen yang pro terhadap pernyataan gaji programmer terlalu besar, adalah fakta bahwa pekerjaan di bidang IT ini terlihat begitu santuy.

Buktinya mereka bebas bisa bekerja di mana saja dan kapan saja. Ibaratnya mereka bekerja sambil koloran dari rumah aja, kok bisa gajinya tinggi?

Sepertinya "kontroversi" masalah gaji ini juga tidak pernah terjadi kepada para pekerja di bidang pertambangan yang gajinya sudah fantastis dari dulu. 

Apakah orang harus berkeringat di lapangan dulu baru bisa dikatakan layak mendapat gaji yang besar?

Baca Juga : 7+ Formula Copywriting Apple yang Bisa Ditiru

Ternyata gaji programmer juga pernah ngenes

Photo by Jefferson Santos on Unsplash 
Photo by Jefferson Santos on Unsplash 

Sebelum melirik sirik kepada para programmer, ada baiknya flashback antara  2000 hingga 2010. 

Saat itu, para programmer ini mengalami masa-masa ngenes saat digaji rendah oleh perusahaan.

Orang terdekat saya, yang juga seorang programmer, mengaku bahwa saat itu dia digaji sedikit di bawah UMR di mana profesi lain bisa digaji lebih tinggi. 

Hal tersebut mungkin terjadi karena pada saat itu pekerjaan para programmer, dengan keahlian mereka di bidang IT, belum terlalu dianggap strategis oleh perusahaan.

Sifat pekerjaan di bidang IT yang susah namun digaji rendah pada saat itu, membuat sebagian anak muda ogah masuk kuliah jurusan IT karena dianggap kurang bagus perspektifnya di masa depan. 

Nah, bisa jadi para programmer masa kini yang dulunya tetap setia bekerja di bidangnya meski pekerjaannya sulit dan digaji rendah. 

Hingga sampailah mereka pada masa di mana skill teknologi informasi begitu dihargai, yaitu saat ini.

Kabar baik dari fenomena ini

Mari kita lihat sisi positifnya dari fenomena ini. Kabar baiknya, nyatanya pekerjaan sebagai programmer memberikan peluang kerja yang luas bagi siapa saja, tanpa terlalu memperhatikan kriteria yang umumnya dijadikan pertimbangan di posisi pekerjaan lain. 

Misal harus lulusan kampus ternama, maksimal usia, hingga penampilan yang menarik.

Bahkan berdasarkan akun IG @loker_it, ada sebuah postingan lowongan pekerjaan sebagai programmer, yang salah satu kualifikasi pendidikannya minimal hanya lulusan SMA/sederajat. 

Dalam lowongan-lowongan yang di-posting di akun tersebut juga jarang yang menyebutkan kriteria maksimal usia. Melainkan lebih mengedepankan pada skill tertentu.

Saya sampai pada suatu kesimpulan bahwa benar adanya isi tweet seorang profesional yang saya baca tempo hari bahwa pekerjaan sebagai programmer bisa menjadi jalan pintas bagi siapa saja yang ingin mengubah nasibnya. 

Asal mau berusaha, sabar, dan mau berpusing-pusing-ria mempelajari skill yang dibutuhkan, niscaya profesi ini akan selalu terbuka lebar untuk mereka. 

*****

Note: artikel ini merupakan tulisan saya (Fitri Apriyani) yang pernah tayang di Mojok.co dengan judul yang sama pada tanggal 29 November 2022.

Editor : Yamadipati Seno.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun