A. Peraturan Bank Syariah (UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah)
Aturan ini mengatur operasional bank syariah di Indonesia, termasuk prinsip-prinsip yang harus diikuti dalam transaksi keuangan. Praktik kredit fiktif jelas melanggar prinsip kejujuran dan transparansi yang diwajibkan oleh peraturan ini.
B. Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Pasal 2 dan Pasal 3)
Mengatur tentang larangan korupsi dan diizinkan. Dalam konteks ini, tindakan Waziruddin yang menyetujui kredit fiktif dapat dijerat dengan pasal-pasal tersebut.
C. Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) (Fatwa No. 96/DSN-MUI/II/2016 tentang Penyaluran Pembiayaan)
Mengatur tentang prinsip-prinsip dalam penyaluran pembiayaan di bank syariah. Kredit fiktif jelas melanggar fatwa ini, yang menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas.
Analisis Perspektif Positivisme Hukum dan Sociological Jurisprudence Terkait dengan Kasus TersebutÂ
Positivisme Hukum
Positivisme hukum berargumen bahwa hukum adalah hasil dari produk yang diciptakan oleh lembaga yang berwenang dan harus dipatuhi, terlepas dari pertimbangan moral.
Analisis; Dalam kasus Waziruddin, tindakan yang melanggar UU Pemberantasan Korupsi dapat dijelaskan dengan pendekatan ini; meskipun ada aspek moral yang dipertimbangkan, fokus utama adalah pada pelanggaran hukum yang jelas dan ketidakpatuhan terhadap regulasi yang ditetapkan. Dengan demikian, proses hukum harus berjalan sesuai ketentuan yang berlaku, dan penegakan hukum harus dilakukan tanpa bias terhadap latar belakang moral atau reputasi individu tersangka.
 Sociological Jurisprudence