Sikancil sangat senang. Ia bisa makan sepuasnya tanpa harus bersusah payah. Ia menikmati buah-buahan dan sayuran yang lezat. Ia merasa kenyang dan puas.
Tetapi, sikancil tidak puas hanya dengan makan. Ia juga ingin bersenang-senang. Ia ingin mengolok-olok gajah yang bodoh. Ia ingin menunjukkan bahwa ia lebih cerdik dari gajah.
Sikancil pun mulai berbuat nakal. Ia menggigit belalai gajah saat gajah memberinya makan. Ia menendang kaki gajah saat gajah berjalan. Ia menarik ekor gajah saat gajah beristirahat. Ia membuat gajah kesakitan dan kesal.
Gajah tidak tahu bahwa sikancil sengaja mengganggunya. Ia mengira bahwa sikancil tidak sengaja melakukannya. Ia berkata, "Sikancil, kenapa kamu menggigit belalaiku? Kenapa kamu menendang kakiku? Kenapa kamu menarik ekorku? Apakah kamu tidak suka padaku?"
Sikancil pura-pura tidak bersalah. Ia berkata, "Maaf, gajah. Aku tidak bermaksud menyakitimu. Aku hanya bermain-main denganmu. Aku sangat suka padamu. Kamu adalah teman baikku."
Gajah pun memaafkan sikancil. Ia berkata, "Baiklah, sikancil. Aku memaafkanmu. Tetapi, jangan ulangi lagi. Jangan membuatku sakit dan marah. Jika tidak, aku tidak akan memberimu makan lagi."
Sikancil mengangguk. Ia berkata, "Baik, gajah. Aku tidak akan mengulanginya lagi. Aku akan berhati-hati. Aku akan menjadi teman yang baik untukmu."
Tetapi, sikancil tidak menepati janjinya. Ia tetap berbuat nakal. Ia semakin sering mengganggu gajah. Ia semakin keras menggigit, menendang, dan menarik gajah. Ia semakin membuat gajah menderita.
Gajah mulai curiga. Ia mulai menyadari bahwa sikancil tidak jujur. Ia mulai merasa bahwa sikancil bukan temannya. Ia mulai marah pada sikancil.
Suatu hari, gajah tidak tahan lagi. Ia memutuskan untuk membalas sikancil. Ia memutuskan untuk menghukum sikancil.
Ia pun membawa sikancil ke sebuah sungai. Ia berkata, "Sikancil, aku mau memberimu hadiah. Aku mau memberimu sesuatu yang spesial. Aku mau memberimu air dari sungai ini. Air ini sangat segar dan sehat. Aku yakin kamu akan suka."