Sikancil tidak curiga. Ia mengira bahwa gajah masih baik padanya. Ia berkata, "Terima kasih, gajah. Kamu sangat murah hati. Aku sangat senang mendapat hadiah darimu. Aku akan minum air dari sungai ini."
Gajah pun mengangkat sikancil dengan belalainya. Ia membawa sikancil ke atas sungai. Ia melemparkan sikancil ke dalam air. Ia berkata, "Ini hadiahku untukmu, sikancil. Selamat berenang di sungai ini. Selamat menikmati air ini."
Sikancil terkejut. Ia tidak bisa berenang. Ia tenggelam di dalam air. Ia berteriak minta tolong. Ia berkata, "Gajah, tolong aku. Aku tidak bisa berenang. Aku akan mati di sini. Tolong selamatkan aku."
Gajah tidak peduli. Ia tidak mau menolong sikancil. Ia berkata, "Tidak, sikancil. Aku tidak akan menolongmu. Aku sudah bosan denganmu. Aku sudah muak denganmu. Aku sudah tidak mau menjadi temanmu lagi. Kamu adalah seekor penipu dan pengganggu. Kamu tidak pantas hidup."
Sikancil menyesal. Ia sadar bahwa ia telah salah. Ia sadar bahwa ia telah bodoh. Ia sadar bahwa ia telah kalah. Ia memohon ampun kepada gajah. Ia berkata, "Maafkan aku, gajah. Aku mengakui kesalahanku. Aku menyesali perbuatanku. Aku berjanji tidak akan mengganggumu lagi. Aku berjanji akan menjadi teman yang baik untukmu. Tolong maafkan aku. Tolong selamatkan aku."
Gajah tidak mau mendengar permintaan sikancil. Ia berbalik dan pergi. Ia meninggalkan sikancil di sungai. Ia berkata, "Sudah terlambat, sikancil. Aku tidak percaya padamu lagi. Aku tidak mau mendengar alasanmu lagi. Aku tidak mau melihat wajahmu lagi. Selamat tinggal, sikancil."
Sikancil pun mati di sungai. Ia tidak bisa menyelamatkan dirinya. Ia tidak bisa mengelabui gajah lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H