Mohon tunggu...
Fitrah m
Fitrah m Mohon Tunggu... Mahasiswa - Fitrah, mahasiswi uin walisongo semarang

sedang menulis.......

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sisi Gelap

5 Desember 2021   23:43 Diperbarui: 6 Desember 2021   09:14 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Berusaha lucu dengan cara mencela,

Yang penting tawa hadir agar di anggap humoris.

Bising ke sana kemari, mengupas sisi buruk yang lain.

Tidak mau berhenti sampai di telinga sendiri,

telinga yang lain harus mendengar dengan sedikit mengarang.

Saat diusik balik, berisik dengan sangat lantang.

Di beri waktu lama, tidak ingin menuntaskan.

Saat sudah tiba waktunya , batin tertekan tak karuan.

Jangankan melaksanakan, menggingat saja belum tentu.

Tersenyum lebar di muka, di belakang berisik tak karuan.

Sudah janji tak ingin mengumbar, di rangkai kisah hingga menjadi acak.

Menasehati dengan sangat bijak, ternayata mencari cela membuat karangan.

Saat benci memuncak didada, yang lain harus ikut membenci.

Hingga mengolah cerita karangan sendiri.

Seharusnya sesama saling menguatkan, justru saling mendorong masuk ke jurang.

Memberi standar akan sesuatu, hingga membuat yang lain tak bisa bergerak.

Menganggap ada nilai sempurna di atas muka bumi,

 lupa hanya segumpal tanah yang di beri nyawa.

Kesana kemari memohon, mengatas namakan perut yang belum ter-isi

Nyatanya untuk ajang agar di anggap mampu.

Tidak apa-apa di belakang tertekan, yang penting di anggap berada.

Teriak ke sana ke mari, menyeru agar tidak apa apa menjadi apa adanya.

Nyatanya, saat yang lain terlihat beda,  Tertawa meski tak di umbar.

Mengatas namakan frekuensi, hingga membatasi yang lain merangkul.

Sesaat datang dengan kalimat paling manis, kemudian hilang tak berarti.

Bukannya menyindir, setidaknya nyadar diri.

Seringkali merasa paling, hingga lupa setiap orang punya jalan.

Menuntut hak ke sana kemari dengan sangat keras, kewajiban pontang panting tak karuan.

Merasa menjadi yang paling menyedihkan, sementara masih sempat minum susu.

Mengingat kesalahan yang lain, sementara baiknya lupa entah ke mana.

Tak sadar semua orang diberi jatah untuk salah.

berusaha merendah untuk bisa melambung ringgi, ngoceh kurang

Nyatanya bersinar bagai bintang.

Tak peduli menjadi gila, asal di kenal di mana mana.

Menampar publik dengan tingkah tak manusiawi.

Teriakkk, " aku yang paling paham tentang tuhan"

Menyalahkan sikap tunduk yang lain.

Tangan kanan memberi, tangan kiri membuat story.

Sikap baik, harus berbuah pujian.

Bukannya menyesuaikan fungsi, justru di cekik dengan riya.

Saat kacau hancur sekalipun, masih sempat mengumbar.

Teriak keji kepada yang salah, seakan- akan  benar tercipta hanya untuknya.

Maunya tak terhitung, tapi lupa cara meminta.

Berisik dan tunduk atas nama cinta, hingga lupa cara menghargai yang tua.

Sudah jelas jelas makna kalimatnya benar, buat pengecualian untuk membenarkan isi pikiran sendiri.

Krisis toleran di mana-mana, bukan-nya menyuguhkan kopi atau teh

Malah bertanya untuk memastikan sama.

Kata segan tidak lagi dikaitkan dengan sopan,

Mampu akan di perlakukan baik, minim dan kurang di lihat sebelah mata.

Pangkat tertinggi duduk di depan, di jamu dengan segan nan ramah.

Bukan lagi pola pikir yang dijadian landasan, gelar panjang akan di hargai.

Menyoret nama, ada uang tinta hilang.

Ada nama dimuka umum, jejak kejahatan tak terdeteksi.

Semakin berisi, semakin melangit.

Hingga tak sadar semua hanya titipan.

Bukannya menyuruh untuk diam, malah jadi kompor hingga terjadi kebakaran.

Beradu mulut untuk masalah kecil, hingga tarik rambut karena komentar.

Bukannya memisahkan, malah terdengar tepuk tangan

Teriak mana yang paling kuat.

Seharusnya masih main kelereng, malah di suguhkan tempat untuk usia atas.

Setelah salah jalan, teriak pemerintah salah aturan.

Tidak apa-apa, orang bebas melakukan sesuatu. Lupa ada batasan usia untuk pengawasan.

Mendidik atas rasa bersalah, hingga akhirnya terlihat memaksa keadan seharusnya.

Menyeru untuk mampu, lupa seseorang punya batas.

Belajar untuk bisa,  bukan harus bisa.

Di tampar untuk melihat sebelah, tamannya indah.

Disuruh menanam bunga di ladang, lupa jika di lahannya  hanya akan tumbuh kangkung.

Untuk apa kangkung di masa depan? Teriaknya

Lupa sehari hari makan itu.

Sudah terbiasa lahir seperti itu, gelap.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun