Baru baru ini kita dihebohkan oleh kasus KDRT yang dialami penyanyi Dangdut Lesti Kejora. Hingga persoalan kekerasan dalam rumah tangga yang cendrung korbannya adalah perempuan begitu hangat diperbincangkan.Â
Banyak netizen menghujat Riski Billar, suami Lesti Kejora, sebagai suami yang arogan.
Saat netizen menunggu kasus ini bergulir keranah hukum, tiba-tiba Lesti mencabut laporan membuat sebagian besar netizen kecewa atas tindakan Lesti mencabut Laporan.
Saya pernah berada di posisi Lesti Kejora, saat saya mengalami KDRT oleh suami saya.
Saya membuat laporan ke polisi. Karena kondisi emosi diri saya saat itu. Marah, kecewa dan mencoba mencari tempat perlindungan. Tidak terpikir untuk berpisah karena kami memiliki dua orang anak yang masih kecil kecil.Â
Setelah saya menceritakan kejadian yang saya alami. Polisi langsung bergerak menjemput suami saya di tempatnya bekerja.
Karena tak ada saksi, polisi memeriksa ulang kebenaran kejadian yang saya alami, dan di hadapan polisi suami saya mengakui perbuatannya.
Saat itu, polisi memberikan saya dua pilihan. Melanjutkan perkara ke ranah hukum atau suami saya membuat surat perjanjian yang disaksikan oleh keluarga kedua belah pihak. Keluarga saya dan keluarga suami.Â
Lama saya tercenung untuk mengambil keputusan. Jujur dalam hati, rasa cinta terhadap pasangan mengalahkan logika saya bahwa saya telah berada dalam hubungan yang toxic.Â
Pada akhirnya saya memilih suami saya membuat surat perjanjian untuk tidak mengulang kembali perbuatannya.Â
Pasca kejadian KDRT, saya mencari tahu dari berbagai sumber bagaimana laki-laki bersifat tempramental. Salah satu penyebabnya adalah mereka yang sering mendapat bullying semasa mereka kecil hingga beranjak dewasa. Terutama bullying yang dilakukan oleh orangtua.
Suami saya pernah menceritakan bagaimana ia mendapatkan penilaian buruk dari orangtuanya. Ia selalu menjadi orang yang disalahkan tanpa pernah kedua orangtuanya menanyakan apa yang dia inginkan.Â
KDRT yang saya terima tidak sekadar fisik, mungkin saya tidak seperti Lesti yang mendapatkan lebam di tubuh. Verbal abuse, ini yang paling menjatuhkan diri saya.Â
Saya tidak mengenali diri saya lagi. Saya tidak tahu apa yang saya senangi, harapan harapan saya terhadap diri saya sendiri hilang lenyap. Seolah-olah esok akan terjadi kiamat. Setiap hari saya berharap untuk dicintai oleh suami saya.Â
Saya berharap keadaan kami membaik. Namun ketika saya begitu mengharapkan cinta suami, suami saya menceraikan saya dengan kecurigaan saya ada seseorang yang ingin dia dekati. Ini yang lebih menyakitkan.Â
Self-esteem saya benar benar hancur. Saya merasakan dalam pergulatan batin, saya sangat sangat tidak berharga. Saya merasa dicampakan bagai sampah.
Saya menyadari kondisi psikis saya tidak baik-baik saja. Saya melakukan pengobatan medis atas kondisi psikis saya. Keadaan saya makin hari makin parah, setiap hari saya pasti menangis.Â
Sampai pada akhirnya saya mengingat kembali kata-kata Eca Prasetya penulis novel Layangan Putus dalam wawancaranya di sebuah podcast, menulis jadi sarana terapinya akibat trauma perceraian.Â
Ketika saya merasakan emosi yang buruk, saya mengambil sebuah kertas kosong. Satu kata yang yang saya tulis berulang ulang ulang.Â
Optimis. kata positif ini memenuhi halaman kertas yang saya tulis. Setiap akan tidur dan bangun tidur saya selalu mengambil kertas untuk menuliskan kata ini.Â
Selanjutnya saya menuliskan harapan harapan saya terhadap diri saya sendiri. Saya menuliskan mimpi-mimpi yang ingin saya capai. Alhamdulillah saya merasakan aura positif menghampiri hidup saya.Â
Luka batin yang saya rasakan berangsur angsur berkurang. Saya hanya ingin menyarankan pada istri istri yang menjadi korban KDRT mau menceritakan luka batin yang ia rasakan, ia harus berani keluar dalam hubungan yang toxic apalagi para ibu yang memilik anak untuk diasuh.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H