Pasca kejadian KDRT, saya mencari tahu dari berbagai sumber bagaimana laki-laki bersifat tempramental. Salah satu penyebabnya adalah mereka yang sering mendapat bullying semasa mereka kecil hingga beranjak dewasa. Terutama bullying yang dilakukan oleh orangtua.
Suami saya pernah menceritakan bagaimana ia mendapatkan penilaian buruk dari orangtuanya. Ia selalu menjadi orang yang disalahkan tanpa pernah kedua orangtuanya menanyakan apa yang dia inginkan.Â
KDRT yang saya terima tidak sekadar fisik, mungkin saya tidak seperti Lesti yang mendapatkan lebam di tubuh. Verbal abuse, ini yang paling menjatuhkan diri saya.Â
Saya tidak mengenali diri saya lagi. Saya tidak tahu apa yang saya senangi, harapan harapan saya terhadap diri saya sendiri hilang lenyap. Seolah-olah esok akan terjadi kiamat. Setiap hari saya berharap untuk dicintai oleh suami saya.Â
Saya berharap keadaan kami membaik. Namun ketika saya begitu mengharapkan cinta suami, suami saya menceraikan saya dengan kecurigaan saya ada seseorang yang ingin dia dekati. Ini yang lebih menyakitkan.Â
Self-esteem saya benar benar hancur. Saya merasakan dalam pergulatan batin, saya sangat sangat tidak berharga. Saya merasa dicampakan bagai sampah.
Saya menyadari kondisi psikis saya tidak baik-baik saja. Saya melakukan pengobatan medis atas kondisi psikis saya. Keadaan saya makin hari makin parah, setiap hari saya pasti menangis.Â
Sampai pada akhirnya saya mengingat kembali kata-kata Eca Prasetya penulis novel Layangan Putus dalam wawancaranya di sebuah podcast, menulis jadi sarana terapinya akibat trauma perceraian.Â
Ketika saya merasakan emosi yang buruk, saya mengambil sebuah kertas kosong. Satu kata yang yang saya tulis berulang ulang ulang.Â
Optimis. kata positif ini memenuhi halaman kertas yang saya tulis. Setiap akan tidur dan bangun tidur saya selalu mengambil kertas untuk menuliskan kata ini.Â