"Siapa itu Pancar?" Nada bertanyanya terdengar mengejek
Aku pandang Gijs sejenak "Oh, Gijs, ini Miranti, Mir, ini Gijs, kawan sekolahku di THS"
Gijs menyodorkan lengan gempalnya. "Gijs Thijmen, senang bertemu dengan nyonya"
"senang bertemu dengan tuan, namaku Miranti" Mir menjawab dengan bahasa Belanda. Ia lalu menyambar tangan Gijs dan menjabatnya.
"Pacarmu Pancar? kau ini" Gijs, melangkah maju, menggoncangkan tubuhku dengan bahunya dan aku hampir roboh ditimpa tubuh gemuknya. "Lalu bagaimana dengan Roos hah? Kau ini" Ia tertawa dan belum sempat aku tinju perut busungnya, ia keburu berlalu tanpa mempertanggung jawabkan perkataannya.
"Kau bicara Belanda Mir? Dari mana kau belajar?"
"Siapa itu Roos?"
"Bukan siapa-siapa"
"Sudah kuduga mas, kau bukannya tak ingat bukan? Kau punya wanita lain bukan? Bilang saja iya mas. Percuma kau tutupi. Roos, Roos. Astaga bukankah itu nama Belanda? Memacari noni kau mas? Jelaslah kini mas. Pastilah kau memilih wanita Eropa itu dibandingkan pribumi sepertiku. Tentu saja kau pilih dia mas, lihat berjalan saja aku tak bisa cepat karena kain ini menghalangiku. Sedangkan wanita Eropa itu pastilah lebih luwes kan? Dan kau lebih suka wanita luwes daripada yang lambat sepertiku? Terjawab sudah semua mas."
Roos Jasmijn Veerle. Ia memang yang menjadi alasan utama mengapa rencana perjodohanku dan Mir tak aku inginkan. Ia putri guruku di THS. Dua tahun sudah aku punya hubungan dengannya, dan tiba-tiba Mir datang membawa kabar soal perjodohan. Bukannya aku tak suka kau Mir, aku sungguh kagum padamu. Lihatlah dirimu, kau wanita pribumi yang bukan hanya cantik, kau wanita yang cerdas. Bicara Belandamu tanpa terbata, dan mungkin kau bicara Inggris atau Perancis pula. Tapi aku tak bisa meninggalkan Roos begitu saja. Tak pernah aku sebimbang ini. Bukan saja aku dihadapkan pada pilihan dua wanita yang mempesona, tapi juga pada bapakku. Apa yang akan aku katakan padanya untuk membatalkan perjodohan ini? Apa aku mampu menolak keinginan bapakku? Membayangkannya saja sudah ngeri.
Aku jelaskan soal Roos pada Mir sejelas-jelasnya. Tak aku biarkan Mir menyelaku sewaktu aku bicara sebelum selesai semua penjelasanku. Miranti lebih banyak menunduk dan segan menatapku. Entahlah apa yang ada dibenaknya, apa yang dirasakan hatinya aku tak berani menduga-duga.