Dalam pidato kenegaraan pada Senin (9/9/2024), Kim Jong-un, Pemimpin Tertinggi Korea Utara, menyebutkan pihaknya bakal "membuat angkatan bersenjata, termasuk kekuatan nuklir, sepenuhnya siap berperang"[1]. Kim mengindikasikan terjadi "ekspansi sembrono" blok militer regional pimpinan Amerika Serikat (AS) yang sekarang berkembang menjadi blok berbasis nuklir.
Ucapan Kim Jong-un ini hanya berselang kurang dari 2 bulan menjelang pemilihan presiden Amerika Serikat yang melibatkan Donald Trump (Partai Republik) dan Kamala Harris (Partai Demokrat).
Pada masa lalu, meski hubungan Kim Jong-un dengan Donald Trump terkesan istimewa, mereka gagal meraih kesepakatan dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Hanoi 2019. Dilaporkan Reuters[2], pada hari kedua KTT tersebut, Trump menyerahkan catatan kepada Kim yang isinya meminta Korea Utara menyerahkan semua senjata nuklirnya. Usai momen tersebut, jamuan makan siang dibatalkan secara tiba-tiba. KTT pun berakhir tanpa kesepakatan.
Lima tahun berlalu sejak KTT Hanoi, hubungan Korea Utara dengan AS tak terdengar lagi. Sebaliknya, Korut tengah mesra dengan Rusia yang dipimpin Vladimir Putin. Hubungan yang sudah terjalin lama, semakin mengikat seiring dengan perang Ukraina. Kim diklaim memasok senjata untuk Putin, dengan balasan teknologi kapal selam nuklir, peralatan satelit militer, dan teknologi rudal balistik antarbenua (ICBM)[3].
Di sisi lain, AS era Joe Biden terus menggaungkan narasi lama soal denuklirisasi Korea Utara. Negeri Paman Sam juga terus menjalin kerjasama militer dengan Korea Selatan, termasuk latihan tahunan yang digelar pada Agustus 2024 lalu. Hal ini disebut Korut sebagai tindakan provokatif[4].
Dengan latar belakang demikian, ketegangan Korut dan Korsel yang mendapatkan beking Rusia dan AS, berpotensi meningkat dan memberikan ancaman serius bagi dunia, termasuk ASEAN yang merupakan kawasan terdekat. Namun, Indonesia, dengan prinsip politik luar negeri bebas aktif, bisa memiliki peran sentral untuk merangkul kedua negara ini.
Krisis Nuklir Korea: Saatnya Global Middle Power Berbicara
Dalam diskusi ASEAN-Korea: Navigating the Future of Relationship Under the Comperhensive Startegic Partnership, Duta Besar Republik Korea untuk ASEAN, Lee Jang-keun, mendorong ASEAN untuk lebih berperan dalam negosiasi denuklirisasi Korea Utara.
"Para pemimpin ASEAN didorong bersikap tegas, jelas dan lugas menyuarakan penghentian program nuklir ini. Kita semua juga dapat membangun dialog dengan Korea Utara untuk fokus menciptakan kebijakan yang dapat menyejahterakan rakyat," papar Lee[5].
Indonesia, bersama negara-negara ASEAN seperti Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, dan Malaysia, tergolong dalam global middle power. Memang, negara-negara ini bukan negara super power atau great power. Namun, peran mereka bisa signifikan. Pasalnya, solusi untuk beberapa tantangan dunia yang paling mendesak, termasuk dalam ketegangan Korea, butuh pendekatan kolaboratif yang selama ini telah diperjuangkan oleh negara-negara middle power.
Dalam konteks nuklir, ASEAN, dengan Indonesia sebagai bagian di dalamnya, adalah contoh apik. Kawasan ini sudah membuktikan konsistensi mereka dalam mengawal Perjanjian Kawasan Bebas Senjata Nuklir Asia Tenggara (SEANWFZ) atau Traktat Bangkok 1995. Selain itu, 8 negara ASEAN sudah meratifikasi Perjanjian Pelarangan Senjata Nuklir (TPNW). TPNW adalah perjanjian multilateral pertama terkait pelarangan senjata nuklir yang berlaku secara global. Pada 2023 lalu, DPR RI juga sudah mengesahkan Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2023 tentang Pengesahan Treaty On The Prohibition Of Nuclear Weapon atau UU TPNW.
Ketegangan Korea bukanlah sesuatu yang bisa diselesaikan oleh kedua belah pihak saja, atau negara yang di belakang mereka. Senjata nuklir tidak hanya memberikan efek politik, sosial, dan ekologis regional, melainkan berpengaruh pada seluruh dunia. Dengan kata lain, dunia pun mesti bertanggung jawab secara kolektif soal isu ini. Ketika negara super power saling mengunci, diplomasi dari negara-negara middle power seperti Indonesia pada khususnya, dan kawasan ASEAN pada umumnya, diharapkan dapat mencairkan kebekuan.
Indonesia, dan ASEAN, perlu mengajak negara-negara middle power lain untuk satu suara terkait ancaman senjata nuklir, bukan hanya untuk ketegangan Semenanjung Korea secara spesifik, tetapi juga untuk dunia. Amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD 1945) bahwa Indonesia mesti “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial” layak dijadikan acuan kebijakan politik luar negeri Merah Putih.
Pengalaman Hanoi dan Masa Depan Dunia
Senjata nuklir baru dua kali digunakan dalam perang, dan keduanya terjadi di Perang Dunia II saat Amerika Serikat menjatuhkan Little Boy ke Hiroshima dan Fat Man ke Nagasaki. Hanya butuh 10 detik untuk ledakan nuklir. Namun, efek dahsyatnya membekas dari generasi ke generasi. Faktanya, lebih dari 97 persen korban meninggal akibat senjata ini adalah masyarakat sipil. Ini belum ditambah sekitar 540.000 penyintas yang sebagian mengalami leukimia hingga kanker. Belum lagi kerusakan infrastruktur dan lingkungan. Pengalaman buruk itu adalah catatan kelam yang tidak boleh terulang.
Kembali pada pertemuan Trump dan Kim Jong-un 5 tahun lampau di Hanoi, seorang jurnalis bertanya kepada Kim Jong-un, apakah sang pimpinan tertinggi Korut bersedia melucuti persenjataan nuklir sepenuhnya. Jawabanya kala itu, "Jika tidak bersedia, saya tidak akan berada di sini sekarang[6]."
KTT Hanoi terhenti di tengah jalan. Namun, jawaban Kim Jong-un ketika itu menunjukkan bahwa dia bukanlah sosok yang tidak bisa diajak bicara. Kegagalan diplomasi di Hanoi bisa jadi inspirasi bagi Indonesia dan negara ASEAN lain sebagai middle power untuk jadi jembatan penghubung Korea Utara dengan lawan-lawan politik mereka. Misalnya, dengan menggelar KTT lain yang langsung melibatkan kedua negara Semenanjung Korea.
Posisi ASEAN yang tegas sebagai zona bebas senjata nuklir, di samping kesatuan yang solid antarsesama negara Asia Tenggara, adalah jalan bagi Korut dan Korsel agar bisa duduk bersama, bukan untuk gertak-menggertak, tetapi demi meninggalkan legacy perdamaian yang dikenang dunia.
DAFTAR PUSTAKA
Cha, Victor. 2024. "A Threat Like No Other: Russia-North Korea Military Cooperation. Diakses di https://www.csis.org/analysis/threat-no-other-russia-north-korea-military-cooperation pada Minggu, 15 September 2024 pukul 09.00 WIB.
Fauzy, Achmad. 2024. "ASEAN Didorong Perkuat Peran dalam Negosiasi Denuklirisasi Korea". Diakses di https://www.metrotvnews.com/read/NgxCV21l-asean-didorong-perkuat-peran-dalam-negosiasi-denuklirisasi-korea pada Minggu, 15 September 2024 pukul 17.12 WIB.
Hyung-jin, Kim dan Kim Tong-hyung. 2024. "North Korea’s Kim vows to make his nuclear force ready for combat with US". Diakses di https://apnews.com/article/north-korea-kim-nuclear-us-icbm-3cca6a028090943ac3fb773fca9c6512 pada Minggu, 15 September 2024 pukul 07.00 WIB.
Tong-hyung, Kim. 2024. "US and South Korea begin military drills aimed at strengthening their defense against North Korea". Diakses di https://apnews.com/article/us-south-korea-joint-military-drills-north-13d96116dee891e28c5a92a8f0104a4d pada Minggu, 15 September 2024 pukul 16.18 WIB.
Westcott, Ben, James Griffiths, Meg Wagner, dan Veronica Rocha. 2019. "President Trump meets with Kim Jong Un". Diakses di https://edition.cnn.com/politics/live-news/trump-kim-jong-un-summit-vietnam-february-2019/index.html pada Minggu, 15 September 2024 pukul 18.10 WIB.
Wroughton, Lesley dan David Brunnstrom. 2019. "Exclusive: With a piece of paper, Trump called on Kim to hand over nuclear weapons". Diakses di https://www.reuters.com/article/world/exclusive-with-a-piece-of-paper-trump-called-on-kim-to-hand-over-nuclear-weapo-idUSKCN1RA2OB/ pada Sabtu, 14 September 2024 pukul 17.30 WIB.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H