Mohon tunggu...
F. Nugrahani Setyaningsih
F. Nugrahani Setyaningsih Mohon Tunggu... Administrasi - JFT Pranata Humas

Anggota Iprahumas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Saat Media Jadi Sumber Kecemasan Baru di Tengah Bencana

31 Desember 2018   16:50 Diperbarui: 31 Desember 2018   17:14 421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Wilayah tempat saya bertugas merupakan salah satu langganan banjir, dan salah satu yang sering memunculkan kecemasan warga di bantaran sungai adalah musim penghujan yang terkadang memicu jebolnya salah satu waduk besar di tempat kami.

Namun kondisi sedikit berbeda terjadi pada banjir besar yang terakhir kali melanda, pasalnya media massa justru menjadi sumber kecemasan baru bagi warga.

Saat media mainstream terkendala akses ke lokasi bencana, citizen journalism hadir menjadi pilihan utama informasi. Hingga warga justru lebih antusias dan sigap melaporkan kondisi terkini bencana di sejumlah grup facebook lokal yang anggotanya mencapai ratusan ribu pengguna.

Kecemasan mulai muncul saat berita seputar bencana dibagikan dengan pilihan kata yang penuh dramatisasi, semisal waduk jebol.  Padahal kenyataannya air waduk hanya melimpas saja.

Warga yang cemas pun lantas bergegas mengungsi hingga kadang saking gugupnya, barang-barang berharga pun tertinggal bahkan dicuri maling yang sejak awal memanfaatkan keadaan.

Kecemasan serta keprihatinan berikutnya bertambah manakala ada wartawan media mainstream yang enggan turun ke lokasi bencana lantas memanfaatkan postingan di media massa sebagai sumber berita secara sepihak tanpa ada verifikasi fakta dulu. Mereka mengejar aktualitas media online yang juga dikelola oleh perusahaan tempat mereka bekerja namun abai pada akurasi berita.

Potret seperti ini saya pikir tak hanya terjadi di tempat kami, di lokasi bencana lain pun tampaknya kecenderungannya seperti itu. Dan Siaran Pers No. 317/HM/KOMINFO/12/2018 pada Rabu, 19 Desember 2018 Tentang 10 Konten Hoaks Paling Berdampak di Tahun 2018 memperkuat asumsi itu.

Salah satu hoaks yang jadi sumber kecemasan di 2018 adalah beredarnya broadcast konten melalui Aplikasi Whatsapp tentang gempa susulan di Palu yang kemudian juga disebarluaskan ke media sosial.

Berita itu tentu saja berdampak langsung kepada korban gempa dan tsunami yang masih mengalami trauma.

Dalam pesan berantai itu disebutkan bahwa Palu siaga 1. Informasi tersebut bersumber dari seseorang yang bekerja di BMKG ketika selesai memeriksa alat pendeteksi gempa. Pesan itu menyebutkan bahwa akan terjadi gempa susulan berkekuatan 8,1 SR dan berpotensi mengakibatkan tsunami besar. Padahal faktanya tidak ada satu pun negara di dunia dan iptek yang mampu memprediksi gempa secara pasti.

Informasi kini mengalir bak air bah. Banjir. Luber, melebihi kemampuan kita untuk menyerapnya. Semua informasi itu bahkan kini masuk ke ruang-ruang personal kita di layar smartphone, menyusup dalam pesan berantai di Whatsapp, Telegram, maupun Line.

Tanpa disadari saat kita masuk di era banjir informasi maka sebenarnya kita juga dihadapkan dengan era ketidakpastian informasi. Parahnya, kita sering kali tidak tahu apakah informasi yang datang benar atau salah.

Ironis, di era digital, ketika informasi melimpah banyak, kebenaran justru menjadi sesuatu yang semakin tidak pasti, kata Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, kritikus media dalam bukunya Blur.

Bukannya memberi kepastian, media tradisional yang dulu menjadi the guardian angle of information, kini justru banyak yang ikut-ikutan menambah parahnya ketidakpastian informasi, semata-mata demi kepentingan komoditas informasi.

Dampaknya, saat ini informasi cenderung menjadi sumber kecemasan baru. Padahal dalam penanganan bencana, media merupakan bagian penting sekaligus menjadi kekuatan dahsyat untuk pendidikan dan perubahan perilaku kebencanaan masyarakat.

Ke depan harapannya media bukan hanya jurnalisme fakta tapi sudah berevolusi menjadi jurnalisme makna dan jurnalisme empati.

Tantangan Humas Pemerintah saat ini adalah pada bagaimana membawa media sebagai mitra kerja pemerintah yang mencerdaskan publik dalam ranah kebencanaan. Lebih dari itu, media semestinya juga dapat lebih didorong untuk meningkatkan perannya dalam kegiatan kampanye membangun kepedulian masyarakat.

Berdasarkan pengalaman banjir di wilayah kami, Pemkab sempat kewalahan dalam mensikapi beragam berita seputar banjir. Ada banyak berita terutama di media social yang tidak sesuai fakta dan membingungkan masyarakat. Di sinilah peran media massa dan "jurnalisme sehat" dibutuhkan, sehingga masyarakat punya rujukan informasi yang tepat.

Jurnalisme sehat adalah jurnalisme yang menghasilkan informasi menyehatkan bagi psikologi masyarakat. Artinya, informasinya tidak membingungkan, bisa mendorong masyarakat untuk tenang namun tetap siaga dan antisipatif dalam merespon bencana.

Perlu disadari pula bahwa kekhawatiran akan adanya tren media mainstream yang semakin mengandalkan medsos sebagai sumber pemberitaan, bukanlah isapan jempol belaka. 

Tengoklah riset  Reuters Institute yang menyebut bahwa jumlah jurnalis yang menggunakan media sosial meningkat drastis. Platform seperti Twitter dan Facebook membuat jurnalis jauh lebih cepat mendapatkan komentar dari "orang di lapangan" tanpa harus "turun ke lapangan" secara langsung.

Ironisnya,berita hoaks justru lebih banyak tersebar di media sosial. Jika dalam kondisi kebencanaan, wartawan media mainstream ceroboh menseleksi fakta dan malas melakukan konfirmasi fakta maka dampaknya bisa fatal.

Menarik pula untuk disimak, saat dua orang peneliti dari University of Amsterdam, Sanne Kruikemeier dan Sophie Lecheler melakukan sebuah penelitian berjudul "News Consumer Perceptions of News Journaslistic Sourcing Techniques" (2016). Keduanya mewawancarai 422 responden terkait bagaimana jurnalis mengakses narasumber dalam berita-beritanya.

Salah satu hasilnya, sebagian besar beranggapan berita yang bersumber dari narasumber lebih kredibel jika dibandingkan dengan  berita yang bersumber dari media sosial.

Kruikemeier dan Lecherer menggunakan nilai 1-7 untuk mengukur tingkat persepsi pembaca atas kredibilitas berita yang diukur dari beberapa faktor, seperti objektivitas, akurasi, keberimbangan dan sebagainya. 

Semakin tinggi nilainya, semakin masyarakat percaya atas berita tersebut. Hasilnya, media sosial menempati urutan paling bawah, yakni Facebook (2,55) dan Twitter (2,56). Peringkat tertinggi diraih oleh wawancara (4,7), konferensi pers (4,33), dan surel (4,25).

Kepercayaan audiens adalah salah satu faktor yang menghidupi sebuah media. Untuk mendapatkan kepercayaan audiens adalah dengan memberikan berita yang akurat dan berkualitas. Penelitian yang dilakukan oleh Kruikemeier dan Lecherer menunjukkan bahwa sebenarnya masyarakat menginginkan berita yang melalui proses verifikasi sehingga bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya.

Padahal apa yang terjadi sekarang adalah kebalikannya, dimana media sosial yang masih dipertanyakan kebenarannya menjadi sasaran para jurnalis dalam mencari materi berita.

Tantangan media saat ini memang menuntut jurnalis untuk bekerja lebih cepat dalam menghimpun berita. Tapi, akurasi berita semestinya tetap dikedepankan. 

Sebab hal itu amat terkait dengan kredibilitas dan kepercayaan masyarakat pada media yang bersangkutan. Jurnalis harus ekstra hati-hati dalam menyusun berita. Sebab berita yang ditulis dapat memberikan pengaruh yang luas bagi para pembaca (Kusumaningrat, 2016).

Bagi masyarakat terdampak bencana, segala informasi yang didapat pun perlu dikonfirmasi lagi kebenarannya. Jangan sampai berita yang sampai di tangan pembaca hoax atau tidak seluruhnya benar dan merugikan masyarakat luas.

Karena itulah, warga dituntut lebih kritis terhadap setiap pemberitaan media arus utama maupun media komunitas di jejaring sosial.

Dan untuk internal pemerintah daerah, saya berharap akan ada upaya serius untuk memperbaiki manajemen kebencanaan terutama dalam penyajian data & informasi kebencanaan yang terpadu, cepat, akurat, dan mudah diakses media maupun warga, sehingga kecemasan warga pada situasi bencana dapat diminimalisir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun