Tanpa disadari saat kita masuk di era banjir informasi maka sebenarnya kita juga dihadapkan dengan era ketidakpastian informasi. Parahnya, kita sering kali tidak tahu apakah informasi yang datang benar atau salah.
Ironis, di era digital, ketika informasi melimpah banyak, kebenaran justru menjadi sesuatu yang semakin tidak pasti, kata Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, kritikus media dalam bukunya Blur.
Bukannya memberi kepastian, media tradisional yang dulu menjadi the guardian angle of information, kini justru banyak yang ikut-ikutan menambah parahnya ketidakpastian informasi, semata-mata demi kepentingan komoditas informasi.
Dampaknya, saat ini informasi cenderung menjadi sumber kecemasan baru. Padahal dalam penanganan bencana, media merupakan bagian penting sekaligus menjadi kekuatan dahsyat untuk pendidikan dan perubahan perilaku kebencanaan masyarakat.
Ke depan harapannya media bukan hanya jurnalisme fakta tapi sudah berevolusi menjadi jurnalisme makna dan jurnalisme empati.
Tantangan Humas Pemerintah saat ini adalah pada bagaimana membawa media sebagai mitra kerja pemerintah yang mencerdaskan publik dalam ranah kebencanaan. Lebih dari itu, media semestinya juga dapat lebih didorong untuk meningkatkan perannya dalam kegiatan kampanye membangun kepedulian masyarakat.
Berdasarkan pengalaman banjir di wilayah kami, Pemkab sempat kewalahan dalam mensikapi beragam berita seputar banjir. Ada banyak berita terutama di media social yang tidak sesuai fakta dan membingungkan masyarakat. Di sinilah peran media massa dan "jurnalisme sehat" dibutuhkan, sehingga masyarakat punya rujukan informasi yang tepat.
Jurnalisme sehat adalah jurnalisme yang menghasilkan informasi menyehatkan bagi psikologi masyarakat. Artinya, informasinya tidak membingungkan, bisa mendorong masyarakat untuk tenang namun tetap siaga dan antisipatif dalam merespon bencana.
Perlu disadari pula bahwa kekhawatiran akan adanya tren media mainstream yang semakin mengandalkan medsos sebagai sumber pemberitaan, bukanlah isapan jempol belaka.Â
Tengoklah riset  Reuters Institute yang menyebut bahwa jumlah jurnalis yang menggunakan media sosial meningkat drastis. Platform seperti Twitter dan Facebook membuat jurnalis jauh lebih cepat mendapatkan komentar dari "orang di lapangan" tanpa harus "turun ke lapangan" secara langsung.
Ironisnya,berita hoaks justru lebih banyak tersebar di media sosial. Jika dalam kondisi kebencanaan, wartawan media mainstream ceroboh menseleksi fakta dan malas melakukan konfirmasi fakta maka dampaknya bisa fatal.