Mohon tunggu...
F. Nugrahani Setyaningsih
F. Nugrahani Setyaningsih Mohon Tunggu... Administrasi - JFT Pranata Humas

Anggota Iprahumas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Satpol PP Perlu Adopsi Gaya SPG Rokok

27 Desember 2017   14:24 Diperbarui: 27 Desember 2017   14:28 945
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Untuk tujuan yang sama, Walikota Surabaya Tri Rismaharini juga punya cara unik. Pihaknya sengaja melakukan rekruitmen tenaga kontrak untuk dijadikan Satpol Cantik Pamong Praja (Satpoltik PP). Selain harus berparas menawan, berpendidikan, mereka juga harus lolos seleksi ketat berupa tes psikologi, wawancara, dan lain sebagainya. Satpoltik diarahkan untuk melakukan tindakan persuasif melalui komunikasi yang efektif.

Saat menghadiri undangan sebuah acara seremonial di lingkup Pemprov Jawa Tengah, perhatian para peserta banyak yang tertuju pada Kepala Satpol PP Jawa Tengah Sinung Sinoeng Rachmadi beserta para ajudannya yang berparas cantik dan tidak mengenakan seragam yang lazim digunakan oleh personil Satpol PP. Tambah mengejutkan lagi saat ada yang berbisik bahwa para Satpol PP perempuan di Pemprov Jateng dapat tunjangan kosmetik. Maka tak mengherankan bila kesan angker yang biasa melekat pada Satpol PP itu berubah drastis.

Tak harus pakai dandanan yang mencolok dan pakaian yang se-sexy SPG rokok, toh dengan sedikit polesan make-up ,  wajah-wajah mereka menjadi segar tapi juga tak nampak berlebihan, pas , elegan, dan tak juga melanggar aturan kedinasan.

Kembali ke judul artikel, tulisan ini tak hendak sekedar ingin menyulap tampilan fisik personil Satpol PP tapi juga berharap agar strategi-strategi marketing yang ada di pikiran manager rokok itu bisa diadopsi. Bahkan jika mungkin jangan hanya belajar dari manager pemasaran rokok saja tapi juga produk-produk lain yang sukses meraih hati khalayak sasaran tanpa perlu banyak mengumbar rayuan.

Jika di bangku-bangku kuliah komunikasi pemasaran, mahasiswa lebih banyak diberikan contoh aplikasinya di perusahaan swasta, kini sudah saatnya, mereka dikenalkan bahwa program-program pemerintah juga merupakan suatu produk pemasaran yang harus bisa "dijual" ke masyarakat. Dijual bukan dalam arti sebenarnya namun dijual di sini bermakna dapat diterima oleh warga masyarakat.

Belajar tentang komunikasi pemasaran, tentunya juga tak bisa lepas dari bahasan psikologi komunikasi dan komunikasi yang persuasif. Istilah persuasi mengutip buku 'Komunikasi Persuasif karya Soleh Soemirat H. Hidayat Satari, bersumber dari perkataan Latin, persuasio, yang berarti membujuk, mengajak atau merayu. Persuasi bisa dilakukan secara rasional dan secara emosional.

Dengan cara rasional, komponen kognitif pada individu dapat dipengaruhi. Aspek yang dipengaruhi dapat berupa ide maupun konsep. Persuasi yang dilakukan secara emosional, biasanya menyentuh aspek afeksi, yakni sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan emosional seseorang. Melalui cara emosional, aspek simpati dan empati individu dapat digugah.

Kebanyakan literatur mengartikan persuasi sebagai suatu proses komunikasi yang ditujukan untuk mempengaruhi sikap, pendapat dan perilaku seseorang, baik secara verbal maupun nonverbal, hingga individu tersebut  mau berubah.

Agar proses komunikasinya berhasil maka harus memperhatikan sejumlah faktor antara lain kejelasan tujuan, memikirkan secara cermat orang-orang yang dihadapi, serta memilih strategi yang tepat.

Pada umumnya terdapat anggapan bahwa seseorang yang lihai membujuk itu pasti pandai berbicara. Padahal hal itu tak sepenuhnya benar, terutama jika seseorang telah belajar tentang psikologi persuasi. Setidaknya ada tiga hukum psikologi persuasi Robert Cialdini yang layak diadopsi personil Satpol PP. Ketiga jurus yang dikemukakan Cialdini dalam bukunya Influence: The Psychology of Persuasion, diantaranya adalah reciprocation (timbal balik), social proof (histeria massa), dan likeability (kesukaan).

Hukum resiprokasi sebagaimana diutarakan Caldini, menyatakan bahwa jika anda menerima sesuatu, anda akan merasa berhutang / berkewajiban untuk membalasnya. Saat orang lain baik dengan kita, kita akan balas berbaik hati dengan mereka. Karena itulah kadang seorang pria merasa tak enak hati dan rela membeli satu pak hingga satu slop rokok setelah  menerima testernya. Apalagi jika SPG-nya berkata, "Gratis kok testernya. Sini biar sekalian saya bantu nyalain rokoknya".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun