Kita Belum Selesai
Oleh: Fithri Suffi
Pukul 16.00 WIB. Wanita semampai berparas merah muda itu tepat waktu. Tetapi aku lebih dulu darinya. Kuabaikan dia yang sibuk memanjangkan leher mencari wujudku. Aku yang melihatnya dari sudut ruang, sama sekali tak berniat untuk melambaikan tangan ke arahnya. Memilih menu yang ingin kunikmati, kupikir jauh lebih menarik.
"Gina!"
Akhirnya dia menemukanku. Dengan malas kututup buku menu, dan kutatap sosok menarik yang kini berdiri tepat di seberang meja.
"Hai." Sapaku riang.
"Akhirnya, setelah hampir 15 tahun, kita bisa bertemu lagi." Dia terlihat begitu ramah dengan senyum khas yang menyebabkan lesung pipinya muncul, dan membuat wajahnya semakin menawan. Namun matanya tak lagi ceria seperti dulu. Kupeluk tubuhnya tanpa ragu. Lantas mempersilakan duduk di kursi seberang tempat dudukku.
Aneh rasanya bagiku ketika harus duduk satu meja dengannya. Ada perasaan beku yang sekuat tenaga harus kucairkan, dengan sisa-sisa kesabaran yang telah kupupuk sekian lama.
"Kau pandai memilih tempat." Dia mengedarkan pandangannya ke sekitar. "tempatnya sungguh artistik dan sangat nyaman."
Aku hanya tersenyum dan ikut melihat sekelilingku. Terdapat 15 meja dengan tatanan begitu rupa, hanya dua meja yang terlihat belum berpenghuni. Entah sudah berapa kali aku datang ke tempat ini. Kafe yang merupakan salah satu tempat favoritku. Model bangunannya minimalis dengan dinding bercat putih. Di luar jendela terlihat pohon tabebuya berbaris rapi di pinggir pagar. Bunganya rimbun berwarna pink dan kuning, membuat kafe ini menjadi lebih menarik.
Aku mengangsurkan buku menu padanya. Dia memberi tanda pada beberapa gambar. Aku melambai pada salah seorang pramusaji dan menunjukkan menu yang telah kami pilih.