Tiba saat keberangkatanku, Wendi, lelaki yang dua bulan telah dekat denganku, menggenggam tanganku lembut. Menatap mataku dengan pandangan bersalah, bukan sedih. Lalu berkata, "Gina, maafkan aku. Kukira aku tak mampu setia padamu. Memikirkan kamu begitu jauh di negara orang, membuat hatiku patah. Izinkan aku melepasmu. Dan izinkan aku memilih dia." Wendi menunjuk perempuan berwajah merah muda. Lalu melepas genggaman tangannya dan berjalan pelan ke arah perempuan berwajah merah muda itu, yang menatapku tanpa rasa bersalah, namun seolah meminta persetujuan.
Aku tersenyum pada semuanya, dan melambai. Berjalan pasti ke dalam ruang keberangkatan, tanpa menoleh ke belakang. Hari itu aku mulai melepas satu kata "bahagia" dari salah satu bagian yang menjadi ambisiku.
"Anakku sepasang. Mereka sudah memasuki usia sekolah. Wendi sudah beberapa tahun memegang jabatan penting di pemerintahan. Namun belakangan ia tersandung masalah yang bisa dikatakan lumayan rumit."
"Jangan diteruskan." aku mendadak memotong pebicaraannya. Kukira tak ada hal penting yang perlu kau jelaskan dan tak ada hal penting yang perlu kau ketahui tentangku." kataku tegas.
"Kelak jika kau tahu, justru kau akan merasa tersakiti." Aku tersenyum yang sengaja kubuat sangat bersahabat. Seolah apa yang kukatakan adalah sebuah lelucon.
"Apa kau tak ingin pulang? Ayah sudah semakin sering menanyakan keadaanmu."
"Kelak aku akan pulang, jika menurutku waktunya sudah tepat."
"Kapan?"
"Kita belum selesai."
"Tolong buat aku mengerti."
"Kau tak akan pernah mengerti, sampai kau berada di posisiku."