"Maaf, aku berusaha tepat waktu. Tadi aku menemui seseorang, untuk urusan yang sangat penting. Maaf jika membuatmu menunggu. Bagaimana kau tahu nomorku? Apa kabarmu, Gina? Kudengar kau sudah sukses sekarang."
"Apa kita masih perlu berbasa-basi?"
"Sepertinya kau tak suka dengan pertanyaan yang sangat standar begitu, ya?"
"Tepatnya begitu. Karena kupikir setelah sekian lama, kamu jadi semakin pintar. Ternyata tidak. Bagaimana aku mendapatkan nomormu, kurasa itu tidak penting. Setelah sekian lama aku pergi, kiranya tak ada salahnya jika aku memutuskan untuk menemuimu."
Wanita di depanku tergelak, hambar. Wajahnya semakin merah muda. Namun ada garis lelah di beberapa bagian matanya yang terlihat jelas olehku. Dia adalah teman lamaku. Mungkin lebih tepatnya begitu. Karena sampai hari ini aku masih bingung menjelaskan seperti apa pertemanan kami. Kalau dikatakan hanya sebatas teman, rasanya lebih dari itu. Namun jika dikatakan sebagai sahabat, sepertinya kami tak sedekat itu. Tapi yang jelas, kami adalah teman satu kelas dan satu meja ketika masih belajar di SMA.
Ada beberapa kesamaan antara kami, namun terdapat beberapa perbedaan yang sangat jauh. Dia sangat supel, sedang aku lebih banyak di kelas membaca buku selama jam istirahat. Tempat yang paling aku gemari adalah perpustakaan, karena duniaku menjadi semakin lapang dalam keheningan. Hal yang membuat kami terlihat sama dan asik dalam bercerita adalah tema soal warna, model pakaian dan tipe laki-laki yang kami sukai. Meski terkadang akhirnya sedikit terjadi pertengkaran, hanya soal perbedaan terhadap warna dan model pakaian, serta model rambut dari lelaki yang kami idolakan.
"Aku ingin minta maaf." ujarnya pelan. Tak ada lagi senyum di wajahnya. Matanya menatap lekat ke arahku.
"Sepertinya tak perlu kita bahas." ucapku tegas. Sedapat mungkin aku sembunyikan luka dari mataku.
Namun ucapanku barusan justru membuat aku jadi terkenang akan peristiwa yang ingin aku hapus dari memori jangka panjangku. Hari itu, seperti biasa, ayah pulang pukul 6 sore. Masih seperti biasa, aku yang membuka pintu. Namun hal yang tidak biasa, kali ini ayah pulang dengan seorang wanita setengah baya yang menggamit lengan ayahku dengan sunggingan senyum yang rupanya tak kupahami, dan di sebelahnya perempuan sebayaku yang wajahnya merah muda. Perempuan yang wajahnya merah muda tersebut, terpana melihatku, seakan tak menyangka. Begitupun aku yang tak menyangka ketika ayah mengenalkan mereka kepadaku, sebagai ibu sambung dan perempuan berwajah merah muda itu sebagai saudara tiriku.
Begitulah ayahku, meskipun setiap hari mengatakan bahwa dia sangat menyayangiku, namun tak melibatkan perasaanku dalam memilih pengganti ibu yang meninggalkan kami karena kanker usus. Kukira aku merasa tersakiti, tapi setelahnya aku hanya bisa diam. Karena aku yakin suaraku sudah tak menarik lagi bagi ayah. Beberapa waktu kemudian, apa yang aku takutkan menjadi kenyataan. Kenyataan bahwa ibu baru berubah sikap secara perlahan, demikian pula dengan perempuan berwajah merah muda yang berhasil mencuri perhatian ayahku dan mendapat respon sesuai dengan harapannya, membuat aku mulai menyusun strategi baru. Aku tidak akan membiarkan mental dan fisikku rusak oleh rasa cemburu yang berlebihan, yang menggerogoti dari hati hingga ke tulang sumsum.
Mulailah aku sibuk menyusun masa depan, yang kukira tak perlu kukatakan pada mereka. Aku bangun masa depanku di kelas, meski perempuan berwajah merah muda tetap memilih sebangku denganku. Aku Menyusun masa depanku di perpustakaan sekolah. Aku juga membangun masa depanku di dalam kamar. Hingga akhirnya aku berhasil mendapat beasiswa di luar negeri. Tujuanku tercapai. Aku berhasil menjauh dari mereka yang tak mau dan tak kuizinkan mendengarkan suaraku dan suara hatiku.