Mohon tunggu...
Fithri Suffi
Fithri Suffi Mohon Tunggu... Guru - Guru

Menulis adalah salah satu hobi saya, sebagai bagian dari sebuah proses belajar. Dengan menulis, saya memiliki ruang untuk mengapresiasi apa yang saya lakukan, apa yang saya pikirkan, apa yang saya imajinasikan, apa yang saya pelajari dan apa yang saya inginkan. Menulis bagiku adalah seni dan dunia tanpa batas yang mampu membawa kita dalam berbagai keadaan seperti yang kita mau.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Halaman Belakang

19 Maret 2023   09:29 Diperbarui: 19 Maret 2023   09:34 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Halaman Belakang

Oleh: Fithri Suffi

"Halaman belakang adalah dirimu yang sesungguhnya. Suaramu terdengar lembut, namun tegas. "Mengapa mereka seringkali mengunci halaman belakang? Karena mereka menyimpan sampah-sampah sekarang dan masa lalu. Itu juga yang membuat mereka menutupinya dari yang lain. Karena mereka tak ingin benar-benar dikenali."

Kali ini kau bicara pada kekasihmu yang sama dengan yang kemarin dan kemarinnya lagi. Hal yang menarik bagiku, karena baru kali ini kau bicara untuk yang ketiga kalinya dengan orang yang sama. Tapi setidaknya aku tak lagi mendengar kau mengucapkan kata, "Kita tak bisa menjadi seperti sendok dan garpu." Atau, "Aku tak bisa menjadi debu yang pasrah dibawa agin kemanapun dia pergi."

Pernah juga pada hari lainnya kau mengatakan kepada kekasihmu yang lain, "Adalah hal paling menyakitkan ketika kita pura-pura mengerti akan sesuatu yang sama sekali tidak kita pahami, hanya untuk mendapat pengakuan sebagai seorang teman atau kekasih." 

Lantas pada beberapa hari yang lainya lagi, dan pada kekasih yang lain lagi, kau mengatakan, "Bagaimana rasanya ketika kau tak mampu menemukan rasa asin pada garam yang kau sesap. Atau ketika kau tak menemukan rasa pedas pada cabai yang kau hirup?" 

Begitulah. Sejak itu mereka-mereka itu tak pernah datang lagi di kafe ini. Kafe milikmu yang didesain sedemikian rupa. Terletak di halaman belakang rumah mewah bercat putih bersih dengan variasi warna abu-abu di beberapa bagian dinding berjendela. Rumah berlantai dua dengan pilar yang tinggi di depan, dan di samping. Aku pernah melewatinya sekali dulu, ketika pertama kali kau membawaku ke tempat ini.

Aku begitu bahagia ketika tiba di halaman belakang milikmu. Tempat yang sama menariknya dengan halaman depan rumahmu. Tertata oleh tangan-tangan terlatih, menjadi tempat yang memanjakan pupil mata. Beraneka tanaman tumbuh subur. Beberapa tanaman bunga, yang berwarna-warni, dan beberapa tanaman buah-buahan. Di tengahnya ada bangunan mungil bergaya klasik dengan dinding bercat putih dan separuh terbuka dengan sebuah kolam mungil di sisi kanan dan kirinya. Terdapat banyak ikan koi berenang kian kemari.

Bangunan itu dikelilingi dengan meja bulat dengan empat kursi yang juga bulat tanpa sandaran. Meja dan kursi itu terbuat dari semen yang dibentuk dan dipoles serupa kayu dengan arsirannya yang khas. Di bagian depan bangunan terpancang kayu dicat serupa warna kayu dengan bacaan Kafe Halaman Belakang, berwarna hitam. Pintu masuk ada di dua arah, yang satu dari arah samping belakang, bersisian langsung dengan jalan raya. Sedang satunya dari arah depan. Jika tamu ingin masuk lewat depan, berarti harus melewati halaman depan, dan berjalan melewati rumah bagian samping, baru sampai ke kafe ini. Lebih banyak mereka memilih lewat depan, karena lebih mudah memarkirkan kendaraan mereka.

Saat itu kau baru tamat kuliah jurusan manajemen di sebuah universitas ternama di kota ini dengan nilai cumlaude. "Aku tak akan melamar kerja di mana pun. Aku akan menjadi bos, bagi mereka yang akan bekerja padaku." Begitu percaya dirinya kau, ketika papamu menyarankan untuk bekerja di perusahaan sahabatnya.

"Aku hanya akan menanam pohon jika ia memberi manfaat ganda bagiku." Begitu kau pernah bilang kepada salah satu karyawanmu waktu itu. Mereka bertanya mengapa kau tidak menanam pohon pelindung. "Setidaknya selain bisa mengenyangkan paru-paruku dengan oksigen yang berlimpah, dia juga bisa memenuhi kebutuhan tubuhku akan serat dan memanjakan lidahku dengan aneka varian rasa, plus nutrisi yang masih segar."

Selanjutnya, kali ini aku mendengar kau mengatakan. "Betapa halaman depan punya jarak yang sangat jauh dengan halaman belakang, meski mereka berada dalam satu buku. Namun bukan berarti mereka harus diberi pelakuan yang berbeda." Kemudian kau mengacungkan sebuah buku pada kekasihmu, meski jarak kalian begitu dekat.

Masing-masing dari kalian memegang sebuah buku, namun aku tak mampu membaca judul dari buku yang kalian pegang itu. Aku hanya mampu melihat warnanya. Yang satu berwarna hitam dengan dengan sedikit gradasi warna-warna terang. Sedangkan yang satunya lagi berwarna ungu muda dengan gambar yang tak bisa kulihat jelas dari tempatku berdiri.

Ingin sekali aku mengetahui judul dari buku-buku yang mereka pegang. Andai aku bisa berjalan dua langkah ke depan, aku pasti bisa mengetahuinya. Sayang sekali, hanya untuk bergerak maju satu mili saja aku tak mampu. Kakiku telah ditanam di sini sejak lima tahun yang lalu. Dan ia hanya bisa menjalar ke bawah, menelisik sela-sela tanah humus yang kadang basah kadang kering.

"Seharusnya kau tidak mengesampingkan sebuah tempat yang menjadi bagian dari tempat yang lainnya. Karena mereka terhubung secara fisik. Untuk bisa sampai ke halaman belakang kau terlebih dulu harus melewati halaman depan." Kekasihmu itu mencoba untuk mendebatmu.

"Aku tidak berkata bahwa aku mengesampingkannya." 

"Tapi kau menuntut perlakuan yang sama, sementara kau sendiri tahu, bahwa mereka memiliki fungsi yang berbeda."

"Kurasa masalah fungsi hanya soal imajinasi. Jika kebutuhan akan keduanya adalah sama penting, maka kedua-duanya harus mendapat perlakuan yang sama."

Kulihat matamu yang indah berbinar antusias. Tak seperti biasanya ketika kau bersama kekasih yang lain, yang tak kau izinkan datang lagi, ketika kau merasa mereka tidak berada pada frekwensi yang sama dengamu.

Kau bahkan tak merasakan panasnya cahaya matahari yang masih mampu menelusup di antara daun-daun pohon mangga dengan buahnya yang rimbun bergelantungan. Biasanya kau selalu menggerutu di jam segini, ketika matahari selalu tak pernah bersahabat dengan semburat cahayanya yang tajam memantul di meja-meja tamu, di kaca depan bagian kasir, dan di sudut sebelah kiri meja kerjamu. Kau pernah bilang bahwa kau akan menanam tiga pohon kelengkeng lagi, untuk menahan garangnya sinar matahari. Tapi sampai saat ini belum kau lakukan. Bisa jadi kau ragu, akan kau tanam di mana lagi pohon-pohon kelengkeng itu. Sementara halaman belakang yang hanya berukuran 22 x 20 ini sudah terlihat begitu penuh dengan tanaman.

            "Itulah sebabnya mengapa aku tidak pernah tertarik membeli Harry Potter, sedang aku dua kali membaca ulang Pulang dan Bila Esok Tiba."

            "Kumala, sepertinya hari ini aku sudah selesai membaca halaman belakangmu meski tak pernah kau tulis." Lelaki itu mengambil kedua tangan kumala dan menatap matanya dengan sungguh-sungguh. Kumala membiarkan jemarinya diusap dengan lembut.

            Ada perasaan hangat menjalar di tubuhku yang kokoh, dengan Kumala dan kekasihnya di bawah rindangku. Menjalar hingga ke dahan dan ranting. Aku seperti ikut bahagia melihat wajahmu memerah, seperti malu.

**********

[Jambi, 19 Maret 2023]

Fithri Suffi, lahir di Jambi dan berprofesi sebagai seorang guru di salah satu SMA di Kota Jambi. Hobinya menulis membuat ia mengikuti banyak kelas menulis. Ia telah menulis satu buah buku pengayaan, sebuah novel, dan beberapa antologi cerpen. Salah satu karyanya terdapat pada antologi Sandiwara Semesta bersama beberapa penulis dari beberapa daerah yang tergabung dalam KMO.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun