Halaman Belakang
Oleh: Fithri Suffi
"Halaman belakang adalah dirimu yang sesungguhnya. Suaramu terdengar lembut, namun tegas. "Mengapa mereka seringkali mengunci halaman belakang? Karena mereka menyimpan sampah-sampah sekarang dan masa lalu. Itu juga yang membuat mereka menutupinya dari yang lain. Karena mereka tak ingin benar-benar dikenali."
Kali ini kau bicara pada kekasihmu yang sama dengan yang kemarin dan kemarinnya lagi. Hal yang menarik bagiku, karena baru kali ini kau bicara untuk yang ketiga kalinya dengan orang yang sama. Tapi setidaknya aku tak lagi mendengar kau mengucapkan kata, "Kita tak bisa menjadi seperti sendok dan garpu." Atau, "Aku tak bisa menjadi debu yang pasrah dibawa agin kemanapun dia pergi."
Pernah juga pada hari lainnya kau mengatakan kepada kekasihmu yang lain, "Adalah hal paling menyakitkan ketika kita pura-pura mengerti akan sesuatu yang sama sekali tidak kita pahami, hanya untuk mendapat pengakuan sebagai seorang teman atau kekasih."Â
Lantas pada beberapa hari yang lainya lagi, dan pada kekasih yang lain lagi, kau mengatakan, "Bagaimana rasanya ketika kau tak mampu menemukan rasa asin pada garam yang kau sesap. Atau ketika kau tak menemukan rasa pedas pada cabai yang kau hirup?"Â
Begitulah. Sejak itu mereka-mereka itu tak pernah datang lagi di kafe ini. Kafe milikmu yang didesain sedemikian rupa. Terletak di halaman belakang rumah mewah bercat putih bersih dengan variasi warna abu-abu di beberapa bagian dinding berjendela. Rumah berlantai dua dengan pilar yang tinggi di depan, dan di samping. Aku pernah melewatinya sekali dulu, ketika pertama kali kau membawaku ke tempat ini.
Aku begitu bahagia ketika tiba di halaman belakang milikmu. Tempat yang sama menariknya dengan halaman depan rumahmu. Tertata oleh tangan-tangan terlatih, menjadi tempat yang memanjakan pupil mata. Beraneka tanaman tumbuh subur. Beberapa tanaman bunga, yang berwarna-warni, dan beberapa tanaman buah-buahan. Di tengahnya ada bangunan mungil bergaya klasik dengan dinding bercat putih dan separuh terbuka dengan sebuah kolam mungil di sisi kanan dan kirinya. Terdapat banyak ikan koi berenang kian kemari.
Bangunan itu dikelilingi dengan meja bulat dengan empat kursi yang juga bulat tanpa sandaran. Meja dan kursi itu terbuat dari semen yang dibentuk dan dipoles serupa kayu dengan arsirannya yang khas. Di bagian depan bangunan terpancang kayu dicat serupa warna kayu dengan bacaan Kafe Halaman Belakang, berwarna hitam. Pintu masuk ada di dua arah, yang satu dari arah samping belakang, bersisian langsung dengan jalan raya. Sedang satunya dari arah depan. Jika tamu ingin masuk lewat depan, berarti harus melewati halaman depan, dan berjalan melewati rumah bagian samping, baru sampai ke kafe ini. Lebih banyak mereka memilih lewat depan, karena lebih mudah memarkirkan kendaraan mereka.
Saat itu kau baru tamat kuliah jurusan manajemen di sebuah universitas ternama di kota ini dengan nilai cumlaude. "Aku tak akan melamar kerja di mana pun. Aku akan menjadi bos, bagi mereka yang akan bekerja padaku." Begitu percaya dirinya kau, ketika papamu menyarankan untuk bekerja di perusahaan sahabatnya.
"Aku hanya akan menanam pohon jika ia memberi manfaat ganda bagiku." Begitu kau pernah bilang kepada salah satu karyawanmu waktu itu. Mereka bertanya mengapa kau tidak menanam pohon pelindung. "Setidaknya selain bisa mengenyangkan paru-paruku dengan oksigen yang berlimpah, dia juga bisa memenuhi kebutuhan tubuhku akan serat dan memanjakan lidahku dengan aneka varian rasa, plus nutrisi yang masih segar."