Jangan pernah membayangkan aku menggantung note ini dengan mata berkaca-kaca. Sebaliknya, justru aku lega. Ini sesuatu yang diniatkan cinta, belum menjadi cinta sebenarnya. Tapi aku tidak juga main-main untuk sembilan tahun lamanya.Â
Note-ku bersebelahan dengan milik bapak berjas itu. Beliau tidak menggunakan pena yang disediakan kafe. Tinta pena beliau terlihat mewah dan mahal khas kantoran. Dengan lancang aku membaca pesan beliau hari ini.Â
"Jika memang karena kutukan cinta pertama, bisakah kita bersama, Ma? Aku belum lupa ketika kusebutkan namamu dalam ikrar di depan penghulu. Juwita Maharani, kau masihlah seseorang yang aku sebut Mama ketika orang lain sudah memanggilku Papa."
Ah, bapak berjas itu memiliki kisah yang cukup pilu. Apa ibu Juwita yang ditunggunya sejak tadi untuk meniup lilin di kue itu? Kasihan sekali jika memang mereka korban kutukan cinta pertama.Â
Pohon ini menjadi tumpuan segala perasaan lama kami. Banyak kata bergantung pada dahan-dahannya. Kami tidak mengharapkan mereka akan membacanya kemudian mengejar. Kami hanya ingin menyortir kata lama, agar kata baru dan cerita baru memiliki ruang, karena kami masih terus melanjutkan perjalanan.Â
Aku menatap lekat kace dari luar. Hari ini aku sudah memutuskan untuk melupakan dan meninggalkan perasaan lama itu. Tetapi rasanya sayang jika aku meninggalkan kage ini setelah seminggu aku berkunjung kemari. Di sini aku menemukan ketenangan di tengah hiruk pikuk kehidupan. Menemukan ruang di mana kami para pengunjung bisa berekspresi terhadap cinta yang katanya pertama.Â
Baiklah, aku akan tetap mengunjungimu, Primo Amore kafe.
---
*Sing For You - EXO