Mohon tunggu...
Fiter Antung
Fiter Antung Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Lebih senang disebut sebagai pemerhati Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Nasionalisme di Batas Negeri

16 Januari 2016   22:29 Diperbarui: 16 Januari 2016   23:07 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pendahuluan

Eksodus warga Indonesia yang berada di garis perbatasan antar negara merupakan isu strategis yang seringkali diangkat oleh berbagai pihak. Berpindahnya penduduk dari pemukiman di Indonesia ke wilayah malaysia beberapa bulan kebelakang menjadi ‘makanan’ media, baik cetak dan elektronik maupun media online. Isu nasionalisme kemudian mencuat. Ada yang mengkaitkan bahwa eksodus tersebut akibat adanya kesenjangan pembangunan di wilayah perbatasan Indonesia dengan negeri Jiran, Malaysia.

Desa – desa yang berada disepanjang garis batas antar negara Indonesia dan Malaysia, terutama di jalur Kabupaten Nunukan dengan Negara Bagian Sabah, menjadi perhatian berbagai pihak, akibat adanya pemberitaan yang demikian intens. Banyak pihak kemudian merasa ‘kebakaran jenggot’, terutama pemerintah pusat yang akhirnya ‘melirik’ wilayah perbatasan, untuk merespon berita negatif yang menyudutkan program kerja pemerintah.

Realita yang patut diapresiasi dan mendapat perhatian lebih, mengingat beberapa kejadian yang menyebakan lepasnya sebagian wilayah Indonesia. Kasus Timor Timur, yang sekarang menjadi Negara Timor Leste. Sipadan dan Ligitan yang menjadi wilayah Malaysia dengan legitimasi dari Keputusan Mahkamah Internasional. Belum lagi soal ancaman disintegrasi bangsa seperti halnya api dalam sekam.

Aceh dengan GAM, Papua dengan OPM hingga munculnya inisiatif pembentukan negara Borneo Raya yang merupakan ‘kreasi’ negara baru meliputi seluruh wilayah kalimantan. Tentu ada yang kurang pas dengan pengelolaan negara Indonesia. Ada isitilah ‘Jawa Sentris’ yang kemudian mengemuka. Fokus pembangunan di Negara Indonesia yang sentripetal untuk wilayah Jawa dengan ‘mengabaikan’ problematika dan kebutuhan masyarakat Indonesia di pulau lainnya.

Banyak muncul kepermukan terutama di media sosial online, dengan bentuk protes kata-kata berupa hastag (tanda pagar) untuk dijadikan trending topic melalui jalur dunia maya. #RiauJugaIndonesia, yang muncul karena lambannya penanganan kasus asap. #KalimantanJugaIndonesia, yang mengharapkan ‘kepedulian’ pusat karena adanya ketimpangan pembangunan prasarana dan sarana jalan maupun akses tehnologi informasi, mengingat Kalimantan, terutama Kalimantan Timur, adalah salah satu dari tiga Provinsi penyumbang devisa terbesar bagi bumi pertiwi. Belum lagi soal peristiwa Gunung Sinabung yang tidak secepat penangannanya dibandingkan dengan kejadian meletusnya Gunung Merapi di Jogjakarta. Mungkin saja ada banyak peristiwa-peristiwa lain yang terjadi dibelahan pulau di Indonesia, selain pulau Jawa, yang tidak diekspos oleh media.

Semua pihak kemudian merasa berempati dan ambil peduli. Seharusnya memang demikian. Namun terkadang hanya sebatas kritik tanpa solusi. Usaha sebatas kata tanpa ada kerja nyata. Entah apa yang mejadi faktor penyebab sulitnya para pemimpin negeri ini untuk peka dan mengambil kerja riil membangun Nusantara yang berkeadilan. Adil dalam segala hal. 70 Tahun bangsa ini merdeka. Bahkan jauh sebelumnya melalui ‘Sumpah Pemuda’, setiap bagian dari pemuda dan pemudi negeri menyatakan kesatuan dan kebinekaan. Nasionalisme dibangun karena kesamaan dalam penderitaan. Namun hingga kini, hampir sebagian besar masih banyak menderita akibat timpangnya pengelolaan negara. Rakyat seringkali mempertanyakan ‘posisi’ pemerintah saat sebagian pulau di negara ini dalam kondisi susah.

Desa Tau Lumbis, Desa di Perbatasan Indonesia - Malaysia

Penulis menelusuri salah satu wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia yang merupakan desa terjauh di Kabupaten Nunukan Propinsi Kalimantan Utara, Desa Tao Lumbis Kecamatan Lumbis Ogong tepatnya. Lokasi desa ini merupakan kumpulan sepuluh desa yang dihuni kurang lebih 77 kepala keluarga. Desa-desa yang ada dalam wilayah Desa Tau Lumbis adalah merupakan desa hasil resetlmen penduduk demi memudahkan pengawasan dan sesuai dengan Instruksi Presiden (inpres) jaman Soeharto dalam rangka penanganan desa-desa terpencil dipedalaman.

Waktu tempuh menuju lokasi Desa tau Lumbis, dari Mensalong, ibukota Kecamatan Lumbis Induk adalah satu hari perjalanan menggunakan perahu longboat dengan mesin ganda. Kondisi air juga mempengaruhi waktu perjalanan. Bila air dalam keadaan pasang atau sedang banjir, maka longboat dapat melaju hingga desa tau Lumbis, namun jika kondisi air sedang surut maka waktu tempuh bisa lebih lama lagi, bahkan hingga bisa bermalam di jalan dan kemungkinan berganti perahu yang berbadan lebih kecil serta ramping. Hal tersebut untuk memudahkan sang motoris dan juru baru meliuk-liuk memainkan perahunya diantara bebatuan sungai.

Selain rentang waktu yang cukup panjang untuk bisa sampai ke desa Tau Lumbis, berbagai rintangan di jalan menjadi penahan laju longboat yang saya tumpangi. Jeram - jeram di sepanjang jalur sungai sangat berbahaya dan seringkali saya dan beberapa teman yang ada dalam perahu yang sama, berjalan kaki menelusuri tepian tebing untuk menghindari jeram. Sedangkan longboat harus melaju dalam kondisi ringan untuk memudahkan melewati setiap lekukan jalur sungai yang dibentengi oleh batu-batu cadas besar. Bahkan pada beberapa kesempatan, kami harus buru-buru terjun ke sungai untuk menarik perahu yang tersangkut diantara batu-batu. Sungguh sangat menguras tenaga dan emosi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun