Gaji dosen pada umumnya terdiri dari komponen gaji pokok, transport, tunjangan pasangan, tunjangan anak, dan tunjangan beras. Dosen ASN Kemendikbud tidak mendapatkan tunjangan kinerja. Untuk menambah penghasilan dosen ada yang namanya jabatan fungsional (jabfung) yang sekarang dikenal dengan jabatan akademik. Terdapat empat level jabfung yaitu Asisten Ahli, Lektor, Lektor Kepala, dan Guru Besar.Â
Besarannya masing-masing insentif, Asisten ahli Rp. 350.0000, Lektor Rp. 550.000, Lektor Kepala Rp. 750.000, dan Guru Besar Rp. 1000.000. Maka THP dosen ASN kisaran Rp.2000.000-Rp.4.000.000 tergantung jabfung. Â
Namun, untuk jabfung ini, terdapat kriteria rumit untuk mendapatkannya yaitu misalnya Asisten ahli, syaratnya dosen harus bekerja minimal 2 tahun, mengajar minimal 12 sks per tahun, penelitian publikasi minimal 1 kali setahun dan publikasi pengabdian masyarakat 1 kali setahun. Bila poin sudah mencukupi, maka dosen bisa diajukan jabfung Asisten Ahli tersebut.Â
Mendapatkan jabfung harus mengabdi dulu 2 tahun, jika belum sampai 2 tahun, gaji dosen hanya gaji pokok dan transport. Perguruan tinggi swasta juga memberikan gaji dosennya dengan angka yang kecil, kisaran Rp.1.000.000 hingga Rp.4.000.000.Â
Banyak dosen di Indonesia bekerja bertahun-tahun belum mencapai jabfung Asisten Ahli. Kenapa? Karena dulu belum ada 4 level jabfung ini, maka dari itu, dosen sekarang dituntut untuk mencapai jabfung tertentu, dengan iming-iming meningkatkan kesejahteraan dosen.Â
Setelah berlelah payah mengikuti ketentuan syarat jabfung tersebut, pada akhir jabatannya, si Nadiem Nakarim mengeluarkan Permendikbud 44 tahun 2024, berisikan bahwa dosen dengan gelar s2 langsung mendapatkan jabatan akademik Asisten Ahli sedangkan dosen dengan gelar S3 otomatis jabatan akademiknya lektor. Maka ada angin segar, dosen langsung mendapatkan insentif sekian yang disebutkan di atas.Â
Lalu, kenapa tiba-tiba kementerian yang dipegang Bapak Nadiem ini tiba-tiba merubah kebijakannya? Padahal mereka sendiri yang membuat kebijakan 4 level tadi. Apakah sistem ini hanya dijadikan ajang untuk uji menguji kehidupan dosen? Kenapa tidak langsung saja memberikan tambahan gaji atau naikan saja gapok dosen dan berikan tunjangan kinerja setiap bulan.Â
Kenyataannya insentif sekian dari 4 level jabfung itu sangatlah tidak menyelesaikan masalah gaji dosen yang minimalis. Kenapa begitu rumit cara yang dilakukan kementerian pendidikan kita untuk menyejahterankan dosen? Kerumitan yang dibuat untuk menambah penghasilan dosen penulis jabarkan perlahan.Â
Ada yang namanya sertifikasi dosen (serdos) yang ditujukan untuk menambah gaji dosen. Adapun program serdos ini diwajibkan mengajar minimal 2 tahun dan per tahun 12 sks. Serdos ini diadakan pemerintah dengan sistem ujian seperti SKD CPNS, hanya saja soal-soal yang diberikan yaitu asesmen penguatan literasi, bahasa inggris, dan psikologi dosen.Â
Jika lulus, dosen mendapatkan tambahan 1 kali gaji pokok. Nah, kembali lagi soal gaji pokok (gapok), ternyata setelah ditambah dengan instentif jabfung dan serdos juga masih belum sesuai dengan THP yang cukup untuk kebutuhan hidup.
Sebagai ilustrasi, apabila dosen ASN Kemendikbud, dengan perguruan tinggi biasa (non Blu dan non PTNBH), sudah ada jabfung dan serdos dengan masa kerja 3 tahun status belum menikah, maka THP nya sebagai berikut: