Sebetulnya apa yang salah dengan negara kita Indonesia? Seringnya negara ini membahas sistem pendidikan.
Berganti-ganti menteri pendidikan, berganti-ganti pula sistem pendidikan dan kurikulumnya. Setiap kurikulum dan sistem pendidikan yang diganti-ganti memiliki manfaat dan tidak bermanfaat. Yang bermanfaat seharusnya diteruskan dan yang tidak relevan dan tidak bermanfaat sebaiknya dihapus saja.
Begitu evaluasi yang dibahas dari rapat kerja antara komisi X DPR RI dan tiga kementerian pendidikan saat ini (Kementerian Dasar dan Menengah, Kementerian Tinggi, Sains, dan Teknologi serta Kementerian Kebudayaan) pada 6 November 2024.
Dari sekian banyak regulasi sistem pendidikan yang berganti-ganti dari masa ke masa ternyata tidak pernah merubah kesejahteraan tenaga pendidik. Begitu banyaknya tuntutan kerja dari sistem pendidikan yang dirubah, mereka harus belajar menyesuaikan dan tunduk di bawah peraturan tersebut.
Mulai dari tuntunan birokrasi akreditasi perguruan tinggi, beban kerja dosen, mengisi administrasi berjenjang yang panjang lebar tiada habisnya, hingga tuntutan tridharma perguruan tinggi bagi dosen.
Bila dijejerkan satu persatu, tuntutan sistem pendidikan yang diberikan oleh kementerian pendidikan sebelumnya sangat memberatkan tenaga pendidik. Mereka diharuskan bekerja sesuai dengan birokrasi tersebut. Dosen selalu dituntut untuk bekerja dan bekerja, tapi mereka tidak pernah merasa bahagia dengan kehidupannya.
Mengapa? Beban kerja semakin banyak, kesejahteraan mereka jauh dari kata cukup. Mereka harus bekerja tambahan untuk mencukupi hidup. Ada yang sampingannya pemulung, tukang ojek, hingga bertani. Mau bagaimana lagi? Gajinya hanya sekian, namun memiliki anak dan istri.
Tenaga pendidik dosen diharuskan bekerja berdasarkan tridharma perguruan tinggi, dimana mereka diwajibkan melakukan penelitian, mengajar, dan mengabdi kepada masyarakat. Adapun bekerja sesuai dengan tuntutan tridharma ini, dosen akan mendapatkan poin-poin yang dikumpulkan menjadi satu.
Poin ini juga dimasukan dalam penilaian kinerja dosen. Poin kinerja dari beban sks mengajar, publikasi penelitian, publikasi pengabdian masyarakat, menerbitkan buku ber-SIBN, menerbitkan suatu protokol, membuat kurikulum, membimbing skripsi/tesis mahasiswa, menjadi penguji skrips/tesis, mengawasi ujian, dan membuat soal ujian.
Poin kinerja ini dikumpulkan untuk memberikan insentif atau renumerasi pada dosen setiap bulannya dan berdasarkan jabatan fungsionalnya. Adapun renumerasi hanya diberikan kepada dosen yang bekerja di perguruan tinggi BLU dan PTNBH. Besaran renumerasinya itu berdasarkan poin kinerja dan level jabatan fungsional. Segala aktivitas dosen ini memengaruhi THP-nya.
Gaji dosen pada umumnya terdiri dari komponen gaji pokok, transport, tunjangan pasangan, tunjangan anak, dan tunjangan beras. Dosen ASN Kemendikbud tidak mendapatkan tunjangan kinerja. Untuk menambah penghasilan dosen ada yang namanya jabatan fungsional (jabfung) yang sekarang dikenal dengan jabatan akademik. Terdapat empat level jabfung yaitu Asisten Ahli, Lektor, Lektor Kepala, dan Guru Besar.
Besarannya masing-masing insentif, Asisten ahli Rp. 350.0000, Lektor Rp. 550.000, Lektor Kepala Rp. 750.000, dan Guru Besar Rp. 1000.000. Maka THP dosen ASN kisaran Rp.2000.000-Rp.4.000.000 tergantung jabfung.
Namun, untuk jabfung ini, terdapat kriteria rumit untuk mendapatkannya yaitu misalnya Asisten ahli, syaratnya dosen harus bekerja minimal 2 tahun, mengajar minimal 12 sks per tahun, penelitian publikasi minimal 1 kali setahun dan publikasi pengabdian masyarakat 1 kali setahun. Bila poin sudah mencukupi, maka dosen bisa diajukan jabfung Asisten Ahli tersebut.
Mendapatkan jabfung harus mengabdi dulu 2 tahun, jika belum sampai 2 tahun, gaji dosen hanya gaji pokok dan transport. Perguruan tinggi swasta juga memberikan gaji dosennya dengan angka yang kecil, kisaran Rp.1.000.000 hingga Rp.4.000.000.
Banyak dosen di Indonesia bekerja bertahun-tahun belum mencapai jabfung Asisten Ahli. Kenapa? Karena dulu belum ada 4 level jabfung ini, maka dari itu, dosen sekarang dituntut untuk mencapai jabfung tertentu, dengan iming-iming meningkatkan kesejahteraan dosen.
Setelah berlelah payah mengikuti ketentuan syarat jabfung tersebut, pada akhir jabatannya, si Nadiem Nakarim mengeluarkan Permendikbud 44 tahun 2024, berisikan bahwa dosen dengan gelar s2 langsung mendapatkan jabatan akademik Asisten Ahli sedangkan dosen dengan gelar S3 otomatis jabatan akademiknya lektor. Maka ada angin segar, dosen langsung mendapatkan insentif sekian yang disebutkan di atas.
Lalu, kenapa tiba-tiba kementerian yang dipegang Bapak Nadiem ini tiba-tiba merubah kebijakannya? Padahal mereka sendiri yang membuat kebijakan 4 level tadi. Apakah sistem ini hanya dijadikan ajang untuk uji menguji kehidupan dosen? Kenapa tidak langsung saja memberikan tambahan gaji atau naikan saja gapok dosen dan berikan tunjangan kinerja setiap bulan.
Kenyataannya insentif sekian dari 4 level jabfung itu sangatlah tidak menyelesaikan masalah gaji dosen yang minimalis. Kenapa begitu rumit cara yang dilakukan kementerian pendidikan kita untuk menyejahterankan dosen? Kerumitan yang dibuat untuk menambah penghasilan dosen penulis jabarkan perlahan.
Ada yang namanya sertifikasi dosen (serdos) yang ditujukan untuk menambah gaji dosen. Adapun program serdos ini diwajibkan mengajar minimal 2 tahun dan per tahun 12 sks. Serdos ini diadakan pemerintah dengan sistem ujian seperti SKD CPNS, hanya saja soal-soal yang diberikan yaitu asesmen penguatan literasi, bahasa inggris, dan psikologi dosen.
Jika lulus, dosen mendapatkan tambahan 1 kali gaji pokok. Nah, kembali lagi soal gaji pokok (gapok), ternyata setelah ditambah dengan instentif jabfung dan serdos juga masih belum sesuai dengan THP yang cukup untuk kebutuhan hidup.
Sebagai ilustrasi, apabila dosen ASN Kemendikbud, dengan perguruan tinggi biasa (non Blu dan non PTNBH), sudah ada jabfung dan serdos dengan masa kerja 3 tahun status belum menikah, maka THP nya sebagai berikut:
Gapok : Rp. 3.700.000
Tunjangan beras : Rp.300.000
Jabfung AA. : Rp.350.000
Serdos. : Rp. 3.700.000
Maka THP akhir. RP. 8.050.000
THP ini gambaran dosen yang sudah berusaha mencapai jabfung dan serdos. Tetapi kenyataannya, ribuan dosen belum mencapai ini, sehingga mereka berakhir dengan gaji tidak sampai Rp.4.000.000. Apalagi dosen dari perguruan tinggi swasta, mengalami kenyataan hidup yang sangat pahit.
Maka dari Permendikbud 44 tahun 2024 yang berisi aturan bahwa jika perguruan tinggi menggaji dosen di bawah UMR daerahnya, perguruan tinggi tersebut akan mendapatkan skors. Wah ini peraturan dengan angin segar kembali.
Tetapi sampai saat ini implementasi undang-undang baru tersebut belum berjalan. Kita hanya bisa menunggu kepastian berjalannya undang-undang ini dalam serentak di semua perguruan tinggi.
Selain itu dorongan pada pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiristek) untuk memberikan tunjangan kinerja kepada dosen ASN tanpa memandang status perguruan tinggi yang sudah mencapai BLU dan atau PTN-BH.
Perguruan Tinggi Negeri berlomba untuk memperoleh BLU dan atau PTN-BH dengan tujuan mendapatkan pengelolaan dana kelembagaan yang mandiri sehingga dapat mensejahterahkan dosen-dosennya. Adapun setiap bulannya dosen akan mendapatkan renumerasi berdasarkan penilaian kinerja dosen tersebut. Seperti yang sudah dibahas bagaimana bentuk penilaian kinerjanya. Jadi, mendapatkan renumerasi pun, dosen harus ikut tuntutan beban kerja.
Demi meningkatkan penghasilannya, banyak dosen keren dan terkenal yang kaya bukan karena profesi dosennya, melainkan sampingannya sebagai pelatih/pembicara even dan seminar/workshop, berkolaborasi dengan pihak luar negeri dalam merancang suatu teknologi, denah, dan sebagainya, serta menjadi konsultan perusahaan swasta.
Maka tidak heran, dosen keren ini super sibuk dan minim waktu untuk mengajar mahasiswanya. Apalagi memenuhi beban kerja yang begitu banyaknya termasuk kewajiban penelitian. Oleh karena itu, mereka dituntut untuk menyesuaikan sampingan dan profesinya.
Dosen wajar melakukan ini karena ingin meningkatkan kesejahterannya demi keluarga. Jadi, sebagai mahasiswa jangan banyak protes, kita jarang ada kelas, kelasnya pun dirapel dalam satu hari.
Tapi, tetap bersemangat belajar demi masa depan, bukannya sibuk mendumeli dosen yang sulit waktunya ya. Jadi jangan kebanyakan protes dan tidak menghargai waktu dosen jika memberikan kuliah rapelan, harap kita juga hadir menghargai ilmu dan waktunya. Kita hanya dapat mendukungnya untuk memperjuangkan kesejahterannya.
Para dosen memanfaatkan berbagai koneksinya untuk hidup lebih maju. Terbelenggu dengan sistem pendidikan dan beban administrasi yang tiada habisnya, belum lagi ditambah dengan akreditasi kampusnya. Mereka harus bekerja lembur untuk mencapai akreditasi Unggul. Apakah mereka mendapatkan kehidupan lebih baik? Tentu saja masih jauh dari itu. Mereka masih banyak yang berkutat dengan utang.
Kehidupan yang serba cepat, biaya hidup semakin meningkat, biaya kesehatan menjulang tinggi, bahkan biaya persalinan semakin mencekik. Ada dosen yang harus berutang untuk biaya persalinan sesar istrinya dengan angka puluhan juta karena kampusnya tidak memberikan bantuan. Selain itu, ada dosen yang berutang pinjaman online, terlilit KPR rumah dan kendaraan, serta berutang untuk pendidikan anak dan biaya hidup.
Dosen kita di Indonesia, baik swasta maupun negeri sangat dipusingkan dengan beban kehidupan dan juga beban pekerjaan. Mereka hanya dapat mengurangi kecemasan dan kegelisahan hidup dengan menguakan semua emosinya dalam bentuk mengajar dan melihat mahasiswanya berhasil. Itulah profesi yang katanya tanpa tanda jasa.
Miris bukan? Dosen mencetak presiden, banyak menteri, anggota MPR, DPR, hingga kepala daerah serta berbagai profesi yang gemilang yaitu dokter, pilot, pengusaha, dan sebagainya yang mumpuni dan berprestasi. Cetakan mereka berhasil hidup dengan baik, tetapi hidup mereka begitu-begitu saja hingga pensiun.
Masalah gaji yang sangat minimalis ini, membuat banyak dosen mengalami kecemasan, stres, dan bahkan berkeinginan bunuh diri. Mental mereka terganggu. Mereka berusaha untuk memperjuangkan hidup, namun kehidupan terlalu keras padanya.
Bila dosen sudah banyak mengalami gangguan kesehatan mental, bagaimana mereka dapat terus fokus untuk membangun pendidikan di negeri ini?
Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa kesehatan mental sangatlah penting. Tidak hanya kesehatan fisik saja. Keduanya sama pentingnya. Kecemasan dan stress yang berkepanjangan dapat mengganggu fungsi organ tubuh.
Sejumlah penyakit kardio metabolik diawali dengan kecemasan dan stress. Bila tidak ditangani sejak awal, penyebab dari stress tersebut akan berdampak buruk bagi mereka.
Para dosen sudah sejak lama mengalami tekanan mental karena kehidupan dan pekerjaannya. Banyak dari mereka mengalami sakit kritis karena asupan gizi yang tidak cukup, beban psikologis, dan stres kerja. Penyakit akibat kerja dan penyakit kritis selalu menghantui para dosen.
Pekerjaan yang melelahkan dengan segudang beban kerja menyebabkan stress kerja. Secara ergonomi ini tidak dibenarkan. Mereka mengalami kelelahan mental dan fisik. Begitu banyak dituntut untuk melaksanakan tridharma dan administrasinya, memacu diri untuk mengumpulkan poin kinerja, dan kewajiban mengurusi akreditas, dan sebagainya.
Kelelahan mental akibat kerja juga sangat mengganggu produktivitas dosen. Waktu istirahat tidur terganggu, bahkan banyak yang mengalami insomnia. Bagaimana tidak, risiko penyakit kritis sangat dekat dengan mereka.
Seharusnya pemerintah memandang mereka dari sisi kemanusiaan. Mereka adalah cendekiawan, berpendidikan, pemberi ilmu, peneliti, dan teladan bagi seluruh lapisan masyarakat. Kenapa mereka harus hidup menderita dan selalu dikecualikan dalam program pemerintahan untuk mencapai kesejahteraan.
Profesi lain dan dosen dari kementerian agama dan PUPR sudah mendapatkan tunjangan kinerja yang mengangkat kesejahteraan mereka. Namun beda halnya dengan dosen Kemendiktiristek yang masih mengalami nasib kurang beruntung. Mau sampai kapan mereka harus berutang di sana-sini? Hidup dalam kegelisahan, kecemasan, stress, hingga tidak pernah yakin akan masa depan.
Sudah waktunya pemerintahan baru dengan presiden baru kita Bapak Prabowo dan jajaran menteri Kemendiktiristek melakukan perubahan dengan fokus menaikkan gaji dosen swasta dan negeri. Atur saja gaji pokok yang pantas sesuai dengan level pendidikan S2 dan S3.
Tidak perlu lagi adanya program macam-macam yang iming-iming dan menyulitkan tambahan gaji. Biarkan gaji dibayarkan berdasarkan gapok level pendidikannya dan tunjangan yang melekat padanya seperti jabatan akademik disertai serdos yang programnya juga wajib diteruskan.
Selain itu, bedakan saja tanggung jawab dosen untuk memilih apakah fokus penelitian, mengajar, atau pengabdian masyarakat. Jangan terus-terusan membebani dosen akan tridharma ini.
Biarkan mereka memilih untuk fokus di bagian mana. Bahkan perguruan tinggi dapat membagi peran dosen pada tiga lini tadi, dosen peneliti, dosen pengajar, dosen peneliti dan pengajar, dan dosen peneliti dan pengabdian masyarakat. Ini jauh lebih baik. Kemudian, urusan administrasi dan program baik seperti serdose diwajibkan dan dipermudah dengan tagline pasti lulus dengan esay/makalah (jika remedial).
Tujuan merampingkan beban kerja dosen yaitu meningkatkan kualitas kesehatan mental dan fisiknya. Selain itu, mereka dapat bahagia dengan perannya. Mereka juga akan jauh lebih bersemangat bekerja. Itu hal yang patut diperbaiki oleh pemerintah.
Jika sudah regulasinya dirubah, maka kita sebagai penulis yang sudah mencapai pendidikan S2 dan S3 tidak akan ragu fokus untuk menjadi dosen.
Semoga.....
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI