Mohon tunggu...
Firzhea AlysaTahira
Firzhea AlysaTahira Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Menumpahkan hobi saya dalam menulis dan bermusik

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sang Putri, yang Sungguh Mencintai Bumi

7 April 2024   00:56 Diperbarui: 7 April 2024   01:09 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Duka mendalam yang dirasakan Bumi di usianya yang ke dua belas tahun cukup membekas bagiku. Sosok Ayah masih terus terbayang setiap aku menginjakkan kaki di area hutan yang masih saja asri. Aku semakin yakin, kekayaan alam ini benar-benar abadi.

Namun pandangan itu kian berubah, perihal keabadian. Aku sudah tiba pada waktu yang tepat. Yang Ayah harapkan untuk aku teruskan ternyata jauh lebih rumit dari apa yang aku bayangkan delapan tahun lalu. 

Desaku ini, kebanggaanku ini, ternyata sudah dikenal luas oleh dunia luar. Keasriannya, kehijauannya, kekayaannya. Banyak spesies endemik yang menyuasanai hutan-hutan di sekitar desa. Desaku tidak berusaha menutup diri, tapi yang sedari dulu Ayahku lakukan adalah melindungi segala kekayaan yang kemi miliki. Ayah kehilangan hak hidupnya demi mempertahankan identitas kawasan desaku ini. 

Tak aku sangka-sangka, dunia luar sangat kental jahatnya. Aku terkejut ketika mengetahui sudah ada lahan yang digunduli demi kepentingan pribadi. Atau perihal satwa endemik yang diburu habis-habisan demi memenuhi tren. Aku seolah dapat berbicara dengan rindang pepohonan tua yang memagari hutan ini. Aku seolah dapat merasakan sakitnya paru-paru dunia ini ketika bagian dari kekayaannya direnggut demi kepentingan manusia.

Hatiku ikut hangus ketika mendengar kabar bahwa bagian hutanku ada yang dibakar oleh manusia tidak bertanggungjawab. Hatiku mencelos ketika eksploitasi itu semakin menjadi-jadi.

Ayahku sudah tidak ada disini, kekosongan yang ditinggalkannya benar-benar terasa utuh. Kepergiannya membawa kesan seolah penjaga hutan kini sudah gugur, keamanan hutan secara terus menerus diterobos. 

Aku dan warga lainnya terus berusaha melestarikan seisi hutan, melawan oknum tidak berhati nurani yang sungguh minim edukasi. Kami melakukan reboisasi, konservasi, bahkan sosialisasi secara terus menerus meski tidak membawa hasil yang begitu baik.

Di malam hari, aku selalu teringat kisah-kisah Ayah perihal koneksi yang dirasakannya dengan alam raya. Ayah seolah menjadi Raja Hutan ketika perihal alamnya sudah disangkut pautkan. Maka aku adalah putri semata wayangnya. Aku bertekad setengah mati untuk menjaga alam ini agar lestari. 

Sejak itu, warga desa terus menjulukiku sebagai Sang Putri Lestari. Sampai pada hari dimana titik tujuanku sudah tercapai. Manusia diluar sana dengan ajaibnya berhenti dalam aksi eksploitasinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun