Mohon tunggu...
Firzhea AlysaTahira
Firzhea AlysaTahira Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Menumpahkan hobi saya dalam menulis dan bermusik

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sang Putri, yang Sungguh Mencintai Bumi

7 April 2024   00:56 Diperbarui: 7 April 2024   01:09 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ayah memandangku dengan antusias, seperti menunggu reaksi besar dari wajahku. Aku terlalu sibuk memandangi burung-burung itu, sampai ketika satu spesies unik hinggap disana, merenggut sepenuhnya perhatianku. Aku ternganga, menyadari indahnya tiap-tiap corak pada bulunya. Itu adalah spesies yang selama ini aku lihat di buku tematik IPA, ketika mempelajari keragaman hayati. Pantas saja aku dengan cepat mengenalinya!

Lantas Ayah tersenyum puas, tertawa setiap aku duduk dan berdiri, tak berhenti terkagum-kagum. Aku merasa seperti sedang belajar, di dalam ruang kelas yang lebih besar, dan lebih eksploratif. Kepalaku merekam semua jenis flora fauna yang ditangkap netraku, dan yang dijelaskan oleh Ayah tanpa aku harus bertanya.

Pagi itu adalah pagi yang kelewat Indah untukku.

Esok harinya, Ayah berangkat kerja seperti biasa. Dengan megecup dahiku, kemudian melengang pergi bersama tas ranselnya. Ayah dengan semangat paginya yang tak pernah luntur, berangkat bersama salah satu tetangga dengan profesi yang sama dengannya. Kemudian ketika tubuh pria paruh baya itu tak terlihat lagi, aku pergi mandi, bersiap untuk memulai hariku sendiri.

Di penghujung hari, aku dan Ibu terbiasa menunggu Ayah pulang, sambil membaca buku bersama atau sekedar berbincang tentang banyak hal, atau bahkan aku akan berakhir tertidur di atas karpet dan sudah berada di atas ranjang pada pagi selanjutnya. Namun malam ini, aku tidak akan menuruti skenario yang biasanya terjadi. Entah mengapa, aku tidak berminat untuk tidur barang sejenak. Sampai tengah malam tiba, kantuk belum juga menyerangku.

Ayah tak kunjung pulang, Ibu terus memandang pintu dengan cemas. Aku pun mulai resah karena tidak terbiasa dengan hal ini. Tak lama kemudian, tetangga yang berangkat bersama Ayah pagi tadi, mengetuk pintu rumah, mengajak Ibu untuk keluar sejenak. Aku penasaran setengah mati tapi tidak berani mengintip atau menguping. Jadi aku hanya menunggu Ibu kembali masuk dengan kabar yang entah apa tentang Ayah.

Pagi itu, Ayah berangkat dengan semangatnya yang utuh. 

Malam itu, duka mewarnai sampai ke langit-langit,

sebab raga Ayah tidak akan kembali pulang, untuk selama-lamanya.

Dan fakta ini berhasil membuatku meraung di teras, berharap berita duka ini adalah tipu muslihat.

Dan asumsi itu masih aku harapkan kebenarannya, sampai delapan tahun kemudian. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun