Ayah menggeleng, “Area kerja Ayah jauh lebih dalam di jantung hutan, di perbatasan daerah dengan desa lain.”
Aku mengangguk meski tidak terlihat oleh Ayah, kemudian samar-samar terdengar gumaman kecil dari bibirnya, “Semoga disini aman.”
Meski tidak dapat kupahami, aku turut mengamini di dalam hati.
Kini kami sudah benar-benar berhenti berjalan, aku dan Ayah duduk di salah satu akar pohon tua yang tingginya tidak terkira. Ayah mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Aku mengenali benda itu, benda yang biasanya Ayah gantungkan di ranting pohon rambutan depan rumah. Benda itu memiliki kotak berisi bermacam biji-bijian. Biasanya akan ada banyak burung hinggap di atasnya, memungut satu persatu bili-bijian yang disediakan Ayah.
Benda itu ada empat jumlahnya, Ayah menggantungnya ke ranting pohon yang masih tergolong muda, kemudian beberapa lainnya dia sebar di sekitar area kami. Setelah itu, Ayah kembali duduk bersamaku, mengeluarkan sebotol air bersih, meneguknya, kemudian menawarkanku.
“Kita tunggu sebentar ya, Bumi. Nanti akan seru.”
* * * * *
Sudah lima belas menit berlalu, ketika suara ayam berkokok terdengar entah dari mana. Aku tidak mengerti bagaimana suara itu seolah benar-benar memulai hari di tengah hutan ini. Terlihat dari bagaimana mulai banyak burung beterbangan, tupai yang kuluar dari sarang, dan banyak penghuni lainnya yang menjalankan aktivitas hewaninya.
“Perhatikan, Bumi!” Ayah berseru setengah semangat.
Aku memperhatikan tempat makanan burung yang digantung Ayah satu persatu, berganti-gantian. Terlihat mulai banyak burung dengan beragam jenis yang hinggap di atasnya, memakan biji-bijian dengan semangat paginya yang luar biasa.
Aku merasa pupilku membesar, kotika aku mulai melihat spesies-spesies yang tidak pernah aku kenali sebelumnya. Semua paduan warna pada aves-aves itu sungguh memikat mata, coraknya sangat unik, aku terheran perihal bagaimana cara Tuhan melukisnya satu-persatu.