Namaku Bumi, Rabumi Nirmala lengkapya. Sekilas informasi bagi kalian yang membaca paragraf ini, Ibuku bersikeras memanggilku Mala sedari jiwaku hadir di tanah nusantara. Keren katanya, seolah menggambarkan anak perempuan yang jelita dan berani. Namun aku tak kalah keras juga untuk memilih nama panggilanku sendiri sejak menginjak usia lima.
Bumi, menurutku kakek tidak memberikan nama itu dengan cuma-cuma.
Bumi, menjadi rumah bagi jiwa kecilku yang masih terbata dalam mengeja dunia.
Bumi, beserta ragamnya yang tak letih memancing kagum akan pesonanya.
Aku bebaskan kalian untuk memanggilku bocah petualang setelah membaca rentetan kisah ini, sebab memang benar adanya. Aku lahir di desa yang cukup terpencil, di tengah pedalaman hutan yang superhijau dan asri. Sedari kecil aku selalu meyakini bahwa hijaunya akan abadi. Dalam simfoni alam raya milik ibu pertiwi.
Aku senang menjelajahi pesisir hutan yang memungkinkan untuk dikunjungi. Aku selalu bertanya pada Ayah tentang batasan-batasan yang boleh dan tidak boleh aku tembus. Aku percaya dan senantiasa patuh pada perkataan Ayahku. Pasalnya, pekerjaan yang Ayah tekuni membuat pria paruh baya itu terus bersahabat dengan lebatnya pedalaman hutan sana. Aku selalu mengira-ngira apa yang dikerjakannya di dalam kawasan yang belum pernah nampak di mataku itu.
Setiap aku bertanya, Ayah akan mengusap kepalaku, sebelum bertutur, “Putriku... yang ayah kerjakan adalah sesuatu yang mulia, nak. Ayah harap kamu dapat meneruskannya nanti, ketika waktunya tiba.”
Kemudian aku mengerjap, mengangguk seolah paham, meski tutur kata Ayah membangun ribuan imajinasi di dalam kepala kecilku.
Pekerjaan mulia seperti apa yang Ayah kerjakan?
Apa aku bisa menjadi mulia seperti Ayah?
Apakah Ayah berperang demi mempertahankan umat manusia disana?
Ataukah Ayah menolong orang-orang yang tersesat di tengah hutan?
Apapun itu, Ayah selalu berhasil menjadi inspirasiku selama bertumbuh sebagai seorang manusia.
Aku sangat antusias setiap Ayah bercerita perihal makhluk yang ditemuinya di tengah hutan, dengan berbagai bentuk dan rupanya yang kian menambah rasa ini tahuku. Aku selalu menuntut agar Ayah mau mengajakku berjalan-jalan di hutan, agar ada yang bisa aku tanyai ketika aku penasaran tentang ini dan itu. Namun kesempatan itu baru aku dapatkan ketika aku menginjak usia 12 tahun.
Pagi buta itu, ketika matahari baru tampak pucuknya, Ayah membangunkanku secara paksa. Katanya, mau menunjukkan sesuatu yang luar biasa. Aku lantas berjalan dengan gontai, mengekori Ayah yang langkahnya semakin cepat. Kemudian ketika aku sadar hijau sudah mendominasi sekelilingku, mataku terbuka lebar tanpa paksaan. Aku tiba-tiba berada di kawasan hutan yang belum pernah aku jelajahi sebelumnya.
“Apa ini area kerja Ayah?” Itu adalah pertanyaan pertama yang terlontar dari mulutku ketika aku sadar sepenuhnya.