Lalu bocah itu meninggalkan Kirana yang masih termangu. Kirana hanya menatap punggung mungil itu menjauh tanpa mampu berkata-kata lagi. Entah mengapa airmatanya meleleh begitu saja saat itu. Bahkan, ia tak menyangka sama sekali kalau pertemuan tersebut merupakan pertemuannya yang terakhir kali dengan Dewi. Karena sejak hari itu, Dewi tak pernah muncul lagi di rumah singgah. Bahkan, gubuk reyot keluarganya di pinggiran TPA pun sudah habis tergusur pembangunan kota. Keberadaan gadis mungil dan keluarganya pun raib bagai di telan bumi. Tanpa jejak, tanpa berita.
***
[caption id="attachment_205298" align="alignright" width="150" caption="Ilustrasi : www.shutterstock.com"][/caption]
Kirana terperanjat! Beberapa detik ia mematung di antara lalu lalang manusia dan suasana hingar-bingar Bandara Changi sore itu. Berdiri menatap suatu objek yang tak pernah ia sangka sama sekali bisa ia temukan di tempat asing tersebut. Apalagi pesawatnya cuma transit beberapa menit saja di sana, sebelum kembali melanjutkan perjalanan menuju JFK International Airport.
“Dewiii…!” Refleks bibirnya menyerukan sebaris nama yang masih lekat diingatannya. Nama yang semalam kembali mengukir kenangannya tentang sebuah impian seorang anak jalanan. Seorang gadis remaja berkulit sawo matang menoleh. Ia tampak baru saja keluar dari toilet bandara. Hanya dalam jarak 3 meter, tentu saja Kirana merasa tak mungkin salah memandang. Seraut wajah itu sungguh tak asing lagi buatnya. Paling tidak dalam beberapa tahun yang lalu.
Kirana melangkah pelan-pelan. Setengah mati ia menahan gemuruh di dada. Degup jantungnya begitu kencang dan tangannya terasa membeku. Entah mengapa ia begitu yakin bahwa penglihatan dan feeling-nya benar. Bocah perempuan yang dulu menghilang itu kini hadir hanya berjarak tak kurang dari semeter di hadapannya. Meski kelihatan jelas jika tampilannya amat sangat berbeda.
Gadis mungil yang dulu kurus dan dekil kini telah menjelma menjadi seorang gadis remaja nan jelita. Tubuhnya yang tinggi semampai berbalut tank top pink dan jins biru gelap. Tak lupa sebuah syal warna silver mengalung di leher jenjangnya dan sepasang sepatu keds putih melengkapi kemodisannya.
“Dewi….,” ucap Kirana lirih. Mendadak segala kalimat sapaan menguap dari otaknya. Sopan santun ketimurannya ketika bertemu orang lain, serta merta menjadi tak bermakna. Ia hanya ingin segera meyakinkan bahwa dugaannya benar. Rasanya detik itu juga ingin sekali ia menghambur untuk memeluk gadis itu.
“Dewi? Who is she?” Gadis manis itu tampak semakin keheranan. Namun seulas senyum ramah mengantarkan uluran tangannya pada Kirana. “I’m Regine… Regine Mortensen. Who are you?”
Kirana terhenyak. Tiba-tiba saja ia merasa sangat kecewa. Dugaannya salah! Padahal matanya belumlah rabun untuk meyakinkan bahwa raut wajah di depannya itu jelas-jelas Dewi, bocah pemulung yang ia kenal dulu. Ia masih ingat Dewi mempunyai tahi lalat di pelipis kiri dan rahang kanannya. Tapi mengapa gadis itu menyangkal? Apa semua ini hanya kebohongan?
Perlahan Kirana balas menjabat tangan gadis yang mengaku bernama Regine tersebut. “Oh,…Hi…I’m Kirana… Emm… Sorry… Kamu benar-benar gak ingat saya? Rumah Singgah ‘Asih’?” tanya Kirana ‘keukeuh’.