Untuk bocah berusia 9 tahun seperti Dewi, Kirana menganggap khayalan itu biasa saja. Karena imajinasi masa kecilnya pun tak berbeda dengan Dewi. Namun, cita-cita mulia bocah itu membuat Kirana sangat terharu. Di tengah kesulitan hidupnya yang terlahir dari keluarga miskin, Dewi masih bisa tertawa dan mempunyai semangat hidup yang tinggi untuk membantu keluarga. Sebagian besar hidupnya dihabiskan di jalanan sebagai pemulung mengikuti jejak orang tuanya. Putus sekolah dan makan seadanya dengan mengais rezeki dari sampah jalanan maupun di Tempat Pembuangan Akhir adalah nasib yang harus dijalaninya. Masa kecil bocah itu terenggut paksa oleh kejamnya kehidupan. Beda sekali dengan masa kecil Kirana yang gemilang.
“Hatimu mulia sekali, Dek… Tapi untuk menemukan harta karun gak semudah itu, Sayang…,” ujar Kirana sambil menjentik pucuk hidungnya yang tak mancung. Dahi Dewi berkerut. Wajah lugunya tampak penasaran mendengar ucapan Kirana.
“Kenapa gak mudah, Kak? Kok di majalah ini Paman Gober bisa nemuin harta karun itu di sebuah negeri di ujung pelangi? Memangnya ujung pelangi itu di mana, Kak?”
Kirana terkesiap. Pertanyaan Dewi cukup sederhana. Namun entah mengapa ia harus meraba-raba untuk mencari jawabannya.
“Hmmmm…. Menurut Kak Kirana, ujung pelangi itu ada di sekolah…”
“Hah? Kenapa begitu, Kak?” Mata Dewi membulat.
“Karena jika kita bersekolah, kita bisa belajar dan mendapatkan banyak ilmu pengetahuan. Nah, ilmu pengetahuan itulah harta karun yang paling berharga, Adekku. Bukan sekedar limpahan uang yang harus terus menerus kita jaga. Lihat saja Paman Gober, karena takut hartanya dicuri, dia membangun sebuah tempat penyimpanan uang. Tapi kalau kamu punya harta berupa ilmu pengetahuan, kamu gak perlu takut orang lain mencurinya. Bahkan semakin banyak kamu berbagi ilmu pengetahuan, maka semakin bertambahlah ilmu pengetahuanmu.”
“Apa ilmu pengetahuan bisa bikin kami gak sering kelaparan dan bisa ngobatin sakit bapakku, Kak?”
Skak! Kirana tertegun sesaat mendengar pertanyaan polos Dewi barusan. Ya Tuhan… Kenapa anak sekecil ini bisa melontarkan pertanyaan yang justru bikin aku semakin kelihatan bodoh?
Sebagai salah seorang tutor anak jalanan di rumah singgah asuhan kampusnya itu, Kirana menyadari ternyata selama dua bulan itu ia masih belum mampu sepenuhnya menyelami kehidupan anak-anak jalanan sebagai adik-adik pendampingannya. Ia merasa naïf sekali bercerita tentang sekolah dan sebagainya, padahal urusan perut saja belum sepenuhnya mampu terpenuhi oleh keluarga mereka. Belum sempat bibir Kirana menjawab, Dewi langsung bangkit dari bangkunya. Lalu menyampirkan sebuah karung lusuh di balik punggungnya yang mungil.
Sambil tersenyum Dewi pun berucap kemudian. Ucapan yang menurut Kirana cukup dewasa untuk anak seumuran Dewi. “Aku mau terusin mulung dulu ya, Kak. Besok aku kemari lagi. Aku mo bilang ama emak dan bapak supaya dibolehin sekolah lagi. Doain ya, kak, semoga aku bisa nemuin sepatu dan tas yang masih bagus. Biar ntar bisa kupake ke sekolah. Pokoknya aku pengen nemuin harta karunku…. di negeri yang ada di ujung pelangi…”