Namun lanjutku, saya memang mencintai dan menyayangi dirimu, tapi saya juga tidak memaksa, bahwa dirimu juga harus memiliki rasa yang sama. Ini hanyalah ungkapan kejujuran akan rasa yang sedang menggelora dalam hatiku. Bahwa bagaimana rasamu padaku, itu bukanlah persoalannya, bagiku menerima dan tidak menerima bukanlah jawaban yang aku inginkan segera. Bukannya aku takut ditolak, atau melompat gembira karena diterima, tetapi lebih pada kelegaan hati yang aku impikan. Karena menyimpan dan memendam rasa hanyalah menambah beban buatku. Dan membuat hati terus gelisah. Mengungkapkannya adalah jalan keluar terbaik bagi diriku. Tetapi, bukan maksud untuk memainkan perasaanmu juga. Sebab, bagiku biarlah semuanya terjadi sebagaimana adanya. Kejujuran, ketulusan dan keberanian untuk mengungkapkan sudah cukup bagiku. Keputusanmu adalah hak dan kebebasanmu.
Sebab memaksamu untuk memiliki rasa yang sama, bukanlah cinta yang otentik dan sejati. Karena tujuan tidak menghalalkan segala cara. Tujuan yang baik harus dilakukan dengan cara yang baik pula. Demikian dengan cinta yang sejati, harus terjadi dalam cara dan tujuan yang baik. Sebab cinta akan mendatangkan derita, ketika kita mereduksi cara dan tujuannya yang mulia. Cinta itu putih bagaikan kapas yang menolak untuk dinodai. Ia juga ibarat burung, yang mengemis untuk ditangkap tapi menolak untuk dilukai, (Khalil Gibran).
Dicere quae puduit scriber jussit amor, "Cinta menuntut aku untuk menulis apa yang aku malu untuk mengatakannya" _ Ovidius
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H